A. Latar Belakang
Islam
merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua
aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat
spritual. Dalam firman Allah SWT dijelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik
yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu
aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami bahwa sebagai
agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep
ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam
menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ekonomi Islam merupakan konsekuensi
logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah
dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan
keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal,
seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain
ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi,
sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di alam raya ini. Allah Swt
mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan harta merupakan salah satu
kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak
ada manusia yang tidak membutuhkan harta. Mengenai hal tersebut maka dalam
makalah ini akan membahas mengenai konsep harta dalam ekonomi Islam di mana di
dalamnya terdapat ayat dan hadits tentang harta dan pendekatan harta dalam
ekonomi Islam.
B. Pembahasan
Dari
segi pengertian, harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berasal
dari kata maala-yamiilu-maylan yang berarti condong, cenderung, dan
miring. Harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi
maupun dalam manfaat. Menurut para fuqaha harta terdiri dari dua unsur, yaitu
unsur 'aniyah dan unsur 'urf. Unsur 'aniyah ialah harta
yang ada wujudnya dalam kenyataan (a'yan) sedangkan unsur 'urf
ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian
manusia.[1]
Materi atau
harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan,
dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka
kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan
untuk merealisir berbagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak
cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat
materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dzalim
dan berlebihan.
1.
Harta Menurut Surat
Ali Imran Ayat 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ القَنَاطِيْرِ المُقَنْطَرَةِ مِنَ
الذَّهَبِ وَ الفِضَّةِ وَ الخَيْلِ المُسَوَّمَةِ وَ الاَنْعَامِ وَ الحَرْثِ ۗ ذَالِكَ
مَتَاعُ الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ المَآبِ (ال عمران : ١٤ )
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat,
yaitu wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta benda yang bertumpuk dalam
bentuk emas, perak, kuda pilihan, hewab ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.”
{Ali Imran (3) : 14}
Penafsiran berdasarkan Tafsir Al-Misbah
Dalam tafsir al-Misbah karya M.
Quraisy Syihab menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan ada hal-hal yang
menghalangi seseorang dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Ayat
ini tidak menjelaskan siapa yang menjadikan indah hal-hal yang disebut oleh
ayat ini, namun hanya membahas apa yang dijadikan indah itu.
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan
kepada aneka syahwat yaitu aneka keinginan. Yang diperindah adalah kecintaan
kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit
terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi, material. Dan yang ditekankan
untuk dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang akan disebutkannya. Bisa
jadi ada dari yang disebutkan itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau
tidak terbendung. Tetapi kalau ia sudah dicintai maka akan sulit atau tidak
terbendung. [2]
Hal-hal yang dicintai itu adalah
keinginan terhadap wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang melimpah
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang.
Saat ayat ini hanya menyebutkan wanita
saja, tidak menyebutkan laki-laki, dan menyebutkan anak laki-laki saja,
sedangkan tidak menyebutkan anak perempuan bukan berarti yang dicintai oleh
manusia hanya wanita-wanita saja atau anak laki-laki saja. Ada
dua jawaban yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab[3] :
Pertama, ayat ini tidak menyebutkan
secara eksplisit syahwat wanita terhadap laki-laki untuk menjaga kehalusan
perasaan wanita. Kemudian tidak menyebutkan anak-anak perempuan, karena kondisi
Arab waktu itu sangat mendambakan anak-anak laki-laki tetapi tidak menyambut
baik hadirnya anak perempuan.
Kedua, berkaitan dengan gaya bahasa
al-Qur’an yang cenderung mempersingkat uraian. Ayat ini tidak menyebutkan anak
perempuan dalam redaksinya karena sudah menyebutkan wanita sebagai wakil yang
menjadi salah satu yang dicintai oleh manusia. Demikian juga tidak menyebutkan
lelaki sebagai yang dicintai karena sudah ada redaksi anak laki-laki.
Selain kecintaan manusia kepada
hal-hal yang telah disebutkan di atas, manusia juga mencintai kepada harta
yang tidak terbilang dan berlipat ganda.
Pertama adalah lafadz ( القناطير ) al-qanathir
yaitu lafadz jamak dari (
قنطار) qinthar. Pemahaman mengenai kata ini berbeda-beda. Ada yang
mengartikannya dalam bilangan tertentu seperti 100 kg, atau uang dengan jumlah
tertentu, dan ada juga yang tidak menyebutkan bilangan jumlah. Qinthar menurut
pendapat kedua ini adalah timbangan tanpa batas. Ia merupakan sejumlah harta
yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup, dan
membelanjakannya guna meraih kenyamanan bagi dirinya dan keluarganya. Kata (مقنطرة) muqantharah adalah pelipatgandaan dari (
القناطير) al-qanathir.[4]
Dengan
memperhatikan redaksi dua kata dalam ayat di atas, jelas bahwa manusia sangat
mencintai harta. Bukan hanya satu qinthar yakni jumlah yang tidak
terbatas dan saat mencukupinya meraih kenyamanan, tetapi juga qanathir,
yakni jamak dari qinthar. Bukan saja harta yang banyak, tetapi manusia juga
mencintai harta yang berlipat ganda. Inilah sifat manusia yang mencintai harta
dalam bentuk emas, perak dan sebagainya.
Selain itu,
ada juga kuda pilihan. Kata “pilihan” di sini mengandung banyak arti di
antaranya adalah tempat penggembalaan yaitu kuda dapat makan dengan
bebas, bukan diikat dan disediakan makan untuknya. Ada juga diartikan “yang
bertanda” yaitu ada tanda-tanda khusus yang berbeda dengan kuda yang lain. Atau
bermakna “terlatih dan jinak”. Meskipun banyak arti dari kata di atas, namun
tetap berarti bahwa kuda itu bukan kuda biasa tapi merupakan kuda pilihan.[5]
Hal lain
yang juga dicintai oleh manusia adalah binatang ternak (
(الانعام. Binatang ternak ini berupa sapi, kambing, domba, dan unta baik
jantan maupun betina. Kemudia ada harts (حرث)
yaitu sawah ladang. Kata lebih menunjuk kepada upaya membajak tanah, yang
selanjunya diolah dan ditanami benih. Kemudian dapat menjadi sawah dan ladang.
Adapun yang
memperindah itu semua adalah Allah SWT. Karena manusia diciptakan untuk menjadi
khalifah di bumi dan mendapat tugas memakmurkan bumi maka dengan tujuan itulah
Allah menganugerahkan naluri kepada manusia untuk mencintai hal-hal di atas
serta memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya. Naluri inilah yang
dijadikan pendorong utama bagi segala aktivitas manusia.
Pada akhir
ayat ini disebutkan bahwa itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi
Allah lah sebaik-baik tempat kembali. Perlu diingat bahwa ketika al-Qur’an
menyebutkan kecintaan kepada syahwat-syahwat itu adalah untuk mendorong aktivitas
kerja dan untuk memperoleh apa-apa yang ada di sisi Allah, maka pada dasarnya
semua itu baik. Dan memang di sisi Allah lah tempat kembali yang paling baik.[6]
Namun jika
semua kesenangan itu didasarkan pada bisikan syetan, maka ia akan dijadikan
tujuan hidup di dunia saja, bukan untuk akhirat. Cara memperolehnya dan cara
menggunakannya pun akan sesuai dengan apa yang dianggapnya baik, padahal itu
adalah bisikan dari setan.
2. Harta dalam Hadits
Rasulullah SAW.
Banyak
riwayat yang menyinggung tentang harta dengan kemuliaannya, atau harta dengan
hal buruk yang ada padanya. Namun semua itu tidak lain hanya supaya setiap umat
Nabi Muhammad dapat mempelajarinya dengan baik dan mengiplementasikannya dalam
kehidupan sekarang ini.
Terdapat
salah satu hadits yang disanadkan dari Ka’ab bin Iyadhz bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتْنَةُ اُمَّتِيْ
المَالُ
“Sesungguhnya
setiap umat mempunyai fitnah (ujian), dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. At Tirmidzi no. 2336, dishahihkan
oleh al-Albani dalam shahihul jami’ no. 2148) [7]
Sejak zaman
Nabi Muhammad SAW, bahkan zaman Nabi-nabi sebelumnya harta sudah menjadi hal
yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Tidak ada orang yang dapat hidup tanpa
memiliki harta. Harta di sini bukan saja diartikan sebagai materi atau uang,
tapi anak, istri, keluarga juga merupakan harta.
Adanya harta
yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia adalah sebagai ujian,
sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas. Kemudian apakah yang diberi
harta itu akan mempergunakannya dengan baik ataukah tidak. Jika dipergunakan
dengan baik maka harta itu akan bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi
dirinya. Namun jika malah digunakan untuk hal yang tida berguna, hal yang tidak
disyari’atkan, apalagi yang haram, justru harta tersebut akan membawa keburukan
bagi dirinya.[8]
3. Harta
Menurut Surat Al-Anfal ayat 28
وَ اعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ أَنَّ
اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌعَظِيْمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” {Al-Anfaal (7) : 28}
Penafsiran
bedasarkan Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab
tafsir ibnu katsir menjelaskan bahwa
ayat ini adalah lanjutan penafsiran dari ayat sebelumnya yang menerangkan
tentang khianat kepada Allah dan rasul serta khianat kepada amanah. Asbabun
nuzul ayat ini berkenaan dengan Abu Lubabah bin Mundzir yang sadar telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul, maka dya bersumpah untuk tidak makan sampai
ia meninggal karena kelaparan atau Allah menerima taubatnya. Lalu Lubabah
mengikatkan dirinya pada tiang mesjid di madinah, lalu dia berdiam diri selama
sembilan hari, sehingga dya pingsan karena tertatih-tatih kelaparan. Allah
menurunkan ayat atas penerimaan taubatnya sehingga masyarakyat
berbondong-bondong datang kepadanya memberikan kabar gembira atas penerimaan
taubatnya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Yang
benar ayat ini bersifat umum, meskipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena
sebab khusus, namun yang terambil adalah keumuman lafadzh, bukan kekhususan
sebab, menurut jumhurul ulama. Khianat itu mencakup dosa kecil dan dosa besar,
yang berdampak pada diri seseorang, ataupun yang dampaknya terhdap orang lain.”[9]
Ayat ini bermaksud untuk
mengingatkan bahwa Allah memberikan harta dan anak kepada kita merupakan bagian
dari ujian dan cobaan yang telah allah berkan kepada kita sebagai mahluknya.
Allah ingin menguji kita dengan melihat apakah kita mensyukuri apa yang telah
Allah berikan kepada kita (anak dan harta), mempergunakannya (harta)
mendidiknya(anak) dengan benar berdasarkan perintahnya. Jika kita menjadikan anak
dan harta kita sebagai kesibukan dan penghalang yang menyebabkan kita jauh
darinya dan menjadikan penggantinya maka kita termasuk orang yang gagal
terhadap ujiannya.
Pahala yang
besar disini yang dimaksudkan adalah surga, surga akan kita dapatkan apabila
kita menjalani ujian yang diberikan oleh Allah dengan baik. Surga-surganya
lebih baik daripada harta karena kebanyakan dari harta dan anak akan menjadi
musuh tidak memberi apa-apa kepadamu sedangkan Allah adalah dzat yang mengatur
yang memiliki dunia dan akhirat. Dia memiliki pahala yang besar dihari kiamat.[10]
Bahkan cinta kita kepada Rasul harus lebih didahulukan daripada cinta kita
terhadap anak dan harta kita pernyataan ini sesuai dengan hadits nabi yang
berbunyi “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganya, tidak beriman seseorang
diantara kalian, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, keluarganya,
hartanya, dan manusia seluruhnya.(HR Al-Bukhori)”.
Penafsiran
bedasarkan Tafsir Jalalain
Dalam kitab
tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang anak dan harta
sebagai uian dari allah merupakan penghambat. Penghambat disini adalah sesuatu
yang menghambat kita dalam perkara-kara akhirat seperti ibadah. Ayat ini
memperingati kita untuk tidak berbuat khianat demi mereka hingga kita merelakan
pahala yang besar lewat begitu saja. Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan
tobatnya Abu Lubabah.[11]
4.
Harta dalam Hadits Rasulullah
“Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: jika
ada seseorang diantara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan
fisik, maka hendaklah dia melihat orang yang lebih rendah darinya daripada
melihat orang-orang yang diberi kelebihan (harta).”[12](HR.
Muslim)
Rasulullah tidak melarang ummatnya
untuk menjadi orang kaya dan Rasulullah pun tidak melarang ummatnya untuk
menjadi orang miskin. Rasulullah hanya mengatur bagaimana seharusnya sikap
orang-orang kaya agar tidak
menjadikannya sebagai manusia yang suka akan nikmatnya duniawi dan lupa
pada urusan ukhrawi. Tidak hanya orang kaya yang diatur sikapnya oleh Allah dan
Rasulullah dalam Al-Quran dan Hadits yang bersangkutan. Tetapi, bagaimana
seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta juga diatur oleh Rasulullah.
Hadits ini
berbicara bagaimana seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta terhadap
orang yang memiliki harta lebih. Rasulullah memerintahkan untuk melihat kepada
orang yang lebih rendah(harta atau fisik) dari pada mereka. Perintah ini
bertujuan agar kita selalu mensyukuri nikmat apa saja yang telah Allah berikan
kepada kita walaupun itu hanya sesuap nasi dan seteguk air. Jika, kita melihat
kepada orang yang lebih rendah daripada kita contohnya yang belum makan selama
tiga hari insyallah kita akan selalu mensyukurinya. Tapi, jka kita
melihat kepada yang lebih tinggi hartanya insyallah kita akan menjadi
kufur nimat dan akan di azab oleh Allah SWT.
5.
Pendekatan Harta dalam Ekonomi Islam
Islam
merupakan agama yang sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan Allah SWT
dalam ayat al-Qur’an yang diturunkan terakhir kali pada saat haji wada yaitu
surat al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-ucapkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Karena itu Islam mengatur seluruh rangkaian kehidupan dari semua aspek.
Dimulai dari aspek yang paling utama yaitu agama, kemudian sosial, politik, dan
juga ekonomi.
Dalam firman Allah
SWT tersebut dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik
yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu
aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai
agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep
ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam
menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur
dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.[13]
Ekonomi Islam
sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam
itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh
umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam
seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang
menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan
transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam mewujudkan
kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber dayanya di alam raya
ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. [14] Dan harta
termasuk ke dalam salah satu sumber daya itu.
Asas Kepemilikan Harta
Dalam ekonomi islam terdapat empat asas kepemilikan harta antara
lain, asas amanah, asas infiradiyah, asas ijtima’iyah, dan manfaat. Berikut
ini penjelasan dari keempat asas tersebut[15]
:
a)
Asas amanah
Dalam asas ini disebutkan
bahwa kepemilikan harta bukan mutlak milik manusia, kepemilikan harta secara
mutlak adalah milik Allah. Sedangkan harta yang dimiliki manusia hanya berupa
titipan dari allah yang sewaktu-watu dapat diambil oleh allah. Harta yang
dimiliki manusia bersifat nisbih. Maka dari itu Dalam memanfaatkan harta
haruslah menurut pada syariat allah. Allah menyerahkan harta kekayaan kepada
manusia untuk diatur dan dinafkahkan. Manusia memiliki hak untuk
mengeksploitasi harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan sesamanya. Allah juga
menuntut kepada manusia agar tidak boros dan kikir dalam memanfaatkan hartanya.
Cara dalam memperoleh harta harus menurut syariat yaitu dengan cara yang halal
dan berkualitas
b)
Asas infiradiyah
Kepemilikan
harta oleh individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat/barang
atau manfaat (jasa) tertentu, ketetapan hukum tersebut memungkinkan siapa saja
yang untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari
barang tersebut bilamana barang tersebut diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli. Oleh karena itu setiap orang
bisa memiliki kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.
Menurut
an-Nabhani ada beberapa sebab-sebab kepemilikan harta berdasarkan hukum-hukum
syara antara lain :
1.
Bekerja
2.
Warisan
3.
Kebutuhan hidup
4.
Harta pemberian
5.
Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan
harta dan tenaga apapun
Pada dasarnya kepemilikan harta bersifat individual
dan dapat disatukan dalam bentuk badan usaha seperti koperasi. Allah
menghalalkan manusia untuk mencari sebanyak-banyaknya rizki di muka bumi ini. Islam meng-iktiraf kepemilikan harta secara
individu. Pada masa yang sama Islam mensyaratkan pemilik harta supaya menjaga
dan memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keselamatan harta serta
melarang memperoleh harta secara haram.
Pemilikan harta
individu yang tidak terkawal dan terarah boleh mendatangkan gangguan terhadap
orang lain dan kebajikan umum. Demi kesejahteraan dan keharmonisan hidup
masyarakat, Islam telah menentukan cara-cara pemilikan harta. Asas ini berbeda dengan asas kepemilikan menurut kapitalis konvensional,
yang memberikan kepada pemilik modal seluas-luasnya mengembakan kepemilikannya
dengan mengabaikan hak-hak sosial.
c)
Asas ijtima’iyah
Menurut hukum Islam dalam hak individu terdapat hak
masyarakat. Hak masyarakat tidak akan menghapus hak individu,
selama hak masyarakat itu digunakan untuk kepentingan bersama
(umum). Harta dapat
dimiliki baik secara individu maupun secara kelompok, dan memiliki fungsi memnuhi kebutuhan hidup
pemilik, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terhadap hak masyarakat. hak
masyarakat dalam kepemilikan individu diasarkan pada kepekaan sosial individu. Kepekaan sosial ini terlihat dalam kewajiban
individu untuk memenuhi kewajiban
ibdah zakat, infak dan sedakah serta kewajiban sosial untuk kesejahteraan umum
dalam bentuk pewakafan.
Hak-hak sosial yang terdapat dalam kepemilikan harta
individu menjadi suatu keharusan individu untuk memenuhinya.
Pemenuhan hak-hak sosial itu untuk
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
Betapa banyak para aghniyah mengabaikan
asas ini, tidak ada sentifitas dan kepekaan sosial untuk
membelanjakan kepemilikan harta mereka untuk kesejahteraan hidup masyarakat. Tidak atau kurang adanya kesadaran akan pertambahan nilai dari pemenuhan
hak-hak sosial itu. Padahal Islam memberi sinyal bahwa memenuhi satu hak-hak sosial Allah akan menambahkkan tujuh puluh nilai kepemilikan harta.
d)
Asas Manfaat
Dari pendekatan filosis pemanfaatan kepemilikan harta pada asasnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat. Memanfaatkan
harta untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi kewajiban primer,
sedangkan kepentingan sosial kemasyarakatan menjadi kewajiban sekunder. Tetapai
pada keadaan tertentu kewajiban sekunder akan menjadi kewajiban primer.
Asas
manfaat dalam kepemilikan harta menempatkan pemenuhan kebutuhan pribadi dan
keluarga menjadi prioritas, betapa banyak sinyal-sinyal al-Qur’an dan Sunnah
Rasul yang menunjukkan itu. “Jagalah dirimu dan
keluargamu dari siksaan api neraka. Nafkahilah kerabat-kerabatmu, kaum fakir
dan miskin”. Sinyal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan harta itu diutamakan untuk
menikatkan kesejahteraan keluarga sebagai pondasi utama, jika telah terpenuhi
kebutuhan kerabat, baru pemanfaatan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan orang
fakir dan orang miskin.
C.
Kesimpulan
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang
mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan
yang bersifat spritual. Dan ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari
kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan
komprehensif oleh umatnya. Dalam
mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di
alam raya ini. Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan
harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta.
Harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi
maupun dalam manfaat. Harta merupakan suatu kesenangan yang diberikan Allah
kepada manusia sebagaimana yang tertera dalam surat Ali Imran ayat 14. Selain
itu harta juga merupakan suatu ujian untuk menguji apakah manusia yang
diberikan harta itu dapat bersyukur atau malah menjadi kufur. Hal ini tertera
dalam hadits Rasulullah SAW di atas dan juga surat Al-Anfal ayat 28. Kemudian
dalam hadits berikutnya Rasulullah SAW memerintahkan jika manusia diberi harta
hendaknya ia tidak sombong dan terus melihat ke atas, namun yang harus ia
lakukan adalah melihat ke bawah, kepada orang-orang yang justru lebih sedikit
diberi harta supaya kita dapat mensyukuri harta yang dititipkan Allah tersebut.
Berkaitan dengan harta dalam
pendekatan ekonomi Islam, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melarang seorang
Muslim memiliki harta. Selain karena harta dapat menjadi salah satu sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, harta juga dapat digunakan untuk kemaslahatan
ummat dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Lalu Islam mengatur kepemilikan
harta yang dibagi dalam empat asas : asas amanah, asas infiradiyah, asas ijtima’iyah, dan asas manfaat.
Keempat asas ini sebagai pedoman bagi setiap muslim yang memiliki harta
sehingga ia tidak mengambil hak yang bukan miliknya.
D.
Referensi
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2010
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam
Syafi’i, 2004
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati,
2009
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2002
Suyuthi,
Jalalludin As- dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, Bogor: Pustaka
Imam Syafi’i, 2001
[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), 2002.
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2009, hlm. 25
[3] Ibid., hlm.
26
[4] Ibid., hlm. 27
[5] Ibid., hlm.
28
[6] Ibid., hlm.
29
[7] “ Menghindari
dari Fitnah Harta dan Anak”, http://www.asysyariah.com/menghindari-dari-fitnah-harta-dan-anak/ Diakses tanggal 12 September
2014, pukul 12.16
[8] “ Ketahuilah, harta
itu ujian”, http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/06/19/19560/ketahuilah-harta-itu-ujian/#sthash.reJKsGMz.dpbs Diakses
tanggal 13 September 2014, pukul 08.50
[9] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i), 2004, hlm. 30
[10] Ibid,
hlm. 31
[11] Jalalludin
As-Suyuthi dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, (Bogor: pustaka
imam syafi’i), 2001, hlm. 108
[12] Muhammad Fuad
Abdul Baqi, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah), 2010, hlm. 803
[13]
“Harta dalam perspektif Islam”, www.wardahcheche.blogspot.com/2014/01/harta-dalam-perspektif-islam.html?m=1 Diakses tanggal 09 September 2014
pukul 03.46
[14] Ibid.
[15] Ibid.
Disusun oleh Neneng Ela Fauziyah
Ustadzah di Madin Diponegoro Yogyakarta
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar