Sabtu, 19 Juli 2014

MOS DAN MES

Santriwan-santriwati bertepuk tangan dengan semangat setelah Ust. Hilmi Nailufar, S.Th.I menyatakan MOS (Masa Orientasi Santri) Ponpes. Pangeran Diponegoro Yogyakarta telah dibuka (18/07/14). “MOS kami buka malam ini. Puncaknya besok pada malam Ahad sekaligus penutupan kegiatan pondok,” ujarnya.

Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan kepada santriwan dan santriwati yang baru masuk untuk lebih mengenal tentang Ponpes. Pangeran Diponegoro. Selain itu, agar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar beserta seluruh penghuni di dalamnya. “Juga mengenalkan pengurus-pengurus pondok yang lain, khususnya para sesepuh,” ungkap ketua IKASANDIP (Ikatan Santri Diponegoro), Masrudin.

“Diharapkan adek-adek dapat saling membimbing, saling membantu, saling membangunkan satu sama lain. semoga kita semua mendapatkan barakah, karamah, dan keilmuan beliau Bapak Syakir Ali. Amin. Ya Rabbal ‘Alamin,” kata Ust. Hilmi Nailufar mengakhiri sambutannya.

Acara malam itu dilanjutkan dengan mauidzoh hasanah. Kali ini yang menjadi pembicara adalah Ust. Fauzan Setyanegara. Dalam penyampaiannya, Ust. Fauzan menjelaskan tentang MOS dan MES. “Gembira sekali malam ini diadakan MOS. Tapi masih ada satu lagi, yakni MES. Apa itu? MES adalah singkatan dari Masa Ekspektasi Santri. Jadi santri juga harus memiliki harapan-harapan yang tinggi. Bisa jadi ingin jadi kyai, ingin jadi anak shalih dan shalihah. Bisa jadi ingin mengungguli guru-guru kita. Jangan sampai kita tinggal di pondok selama beberapa tahun dan sama sekali tidak memiliki harapan. Untuk mewujudkan harapan tersebut kita perlu minimal dua bekal, yaitu senang dan takut. Senang bisa dihubungkan pada QS. Al-Iqra’ 1-5. Santri harus senang membaca. Membaca tidak hanya buku, tapi juga situasi, kondisi, ayat-ayat kauniyah, dan lain sebagainya,” kata beliau.

Bekal kedua yang harus dimiliki santri, lanjut Ust. Fauzan, adalah takut. Santri harus takut melanggar tata tertib. Takut melanggar kewajiban. Terkadang para ustadz juga memiliki kesibukan dan kepentingan sendiri, dan saat itu terjadi, santri juga harus mandiri dalam arti tetap menjalankan kewajiban-kewajiban.


Setelah mauidzoh usai, acara kemudian diakhiri dengan doa oleh Bapak Jamhari. “Marilah kita berdoa yang lemah lembut. Saya percaya santri-santri memiliki semangat yang tinggi, namun harus tetap menjaga kesopanan dan etika. Saya tidak berharap anak-anak sebagai santri, tapi urakan. Semua ada tata caranya. Mari kita berdoa dengan baik,” kata beliau sebelum memulai doa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar