Santriwan-santriwati bertepuk tangan dengan semangat setelah Ust.
Hilmi Nailufar, S.Th.I menyatakan MOS (Masa Orientasi Santri) Ponpes. Pangeran
Diponegoro Yogyakarta telah dibuka (18/07/14). “MOS kami buka malam ini. Puncaknya
besok pada malam Ahad sekaligus penutupan kegiatan pondok,” ujarnya.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan kepada santriwan dan
santriwati yang baru masuk untuk lebih mengenal tentang Ponpes. Pangeran
Diponegoro. Selain itu, agar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar
beserta seluruh penghuni di dalamnya. “Juga mengenalkan pengurus-pengurus
pondok yang lain, khususnya para sesepuh,” ungkap ketua IKASANDIP (Ikatan
Santri Diponegoro), Masrudin.
“Diharapkan adek-adek dapat saling membimbing, saling membantu,
saling membangunkan satu sama lain. semoga kita semua mendapatkan barakah,
karamah, dan keilmuan beliau Bapak Syakir Ali. Amin. Ya Rabbal ‘Alamin,” kata
Ust. Hilmi Nailufar mengakhiri sambutannya.
Acara malam itu dilanjutkan dengan mauidzoh hasanah. Kali
ini yang menjadi pembicara adalah Ust. Fauzan Setyanegara. Dalam
penyampaiannya, Ust. Fauzan menjelaskan tentang MOS dan MES. “Gembira sekali
malam ini diadakan MOS. Tapi masih ada satu lagi, yakni MES. Apa itu? MES
adalah singkatan dari Masa Ekspektasi Santri. Jadi santri juga harus memiliki harapan-harapan
yang tinggi. Bisa jadi ingin jadi kyai, ingin jadi anak shalih dan shalihah.
Bisa jadi ingin mengungguli guru-guru kita. Jangan sampai kita tinggal di
pondok selama beberapa tahun dan sama sekali tidak memiliki harapan. Untuk
mewujudkan harapan tersebut kita perlu minimal dua bekal, yaitu senang dan
takut. Senang bisa dihubungkan pada QS. Al-Iqra’ 1-5. Santri harus senang
membaca. Membaca tidak hanya buku, tapi juga situasi, kondisi, ayat-ayat
kauniyah, dan lain sebagainya,” kata beliau.
Bekal kedua yang harus dimiliki santri, lanjut Ust. Fauzan, adalah
takut. Santri harus takut melanggar tata tertib. Takut melanggar kewajiban.
Terkadang para ustadz juga memiliki kesibukan dan kepentingan sendiri, dan saat
itu terjadi, santri juga harus mandiri dalam arti tetap menjalankan
kewajiban-kewajiban.
Setelah mauidzoh usai, acara kemudian diakhiri dengan doa oleh
Bapak Jamhari. “Marilah kita berdoa yang lemah lembut. Saya percaya
santri-santri memiliki semangat yang tinggi, namun harus tetap menjaga
kesopanan dan etika. Saya tidak berharap anak-anak sebagai santri, tapi urakan.
Semua ada tata caranya. Mari kita berdoa dengan baik,” kata beliau sebelum
memulai doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar