Sabtu, 28 Februari 2015

Bermalam di Arvita Bunda


Ahad ( atau yang lebih masyhur dengan sebutan Minggu ) pagi iini aku bangun kesiangan karena malamnya bisa tidur pukul stengah satu malam. Kebetulan di pondok sedang ada hajatan besar yakni peringatan maulid nabi muhammad saw yang seluruh lembaga pendidikan yang dibawah naungan yayasan pondok pesantren pangeran diponegoro mengadakan lomba-lomba untuk kalangan pelajar. Suasana pondok sangat ramai semuanya tampak berbungah-bungah karena ada hajatan besar nan ramai namun di balik ada santri yang sedang sakit berhari-hari dan tak kunjung sumbuh. Bangun dari tidur aku langsung bergegas untuk wudlu dan langsung melaksanakan sholat subuh qada karena bangunku yang kesiangan tadi. 

Setelah sholatku yang qada tadi aku langsung ingat keadaan santri yang sedang sakit karena beberapa hari terakhir yang sakitnya tak kunjung sembuh itu selain sebagai santri anak tersebut masih mempunyai hubungan saudara denganku tepatnya dia anak dari kakak sepupu jadinya lebih punya rasa lebih untuk selalu mengurusinya.  Dua anak yang sakit masih tertidur di ranjangnya masing-masing langsung aku datangi ternyata belum sarapan padahal saat itu pukul 10 siang langsung akku bergegas mengambil makan muntuk keduanya. Semakit menakutkan setiap tak ambilkan makan selalu gak mereka makan katanya sih makan gak ada rasanya trus kalau buat makan langsung pingin muntah. Kebetulan di jogaja aku jyga punya adik yang tinggal uga satu pondok, namaya Sofwan Hilmi tapi di pondok dia lebih populer dipanggil dengan nama lain yakni cemet entah apa sebab awalnya adikku ini yang punya nama bagus malah punya panggilan yang kurang baik ini. Akupun memanggilnya untuk aku suruh nganterin kedua santri sekaligus saudara kku ini untuk tes darah di klinik kesehatan terdekat.

Pondok yang sangat ramai membuatku malas untuk belajar padahal hari itu adalah suasana ujian untuk kampusku yakni UIN SUKA, akhirnyapun aku memutuskan untuk mempersiapkan sedikit beberapa tugas yang masih ada yang mau tak mau harus menghadap komputer minniku ini. Mulailah aku mengerjakan tugas-tugas tersebut, suara salam yang terus berbunyi mebuatku keluar kamar untuk melihat adakah tamu yang datang, bergegas keluar kamar ternyata benar seorang lelaki yang tampak berbadan besar dan soopan berada di depan kantor pondok yang kebetulan tempat kantor yang bersebelahan dengan kamarku. Langsung aku menemuia tamu tersebut dan dipersilahkan umtuk masuk dan duduk. Pada pertemuan saat itu untuk mengawali ada basa-basi yang secara spontan keluar dari mulutku ini ada saja yang selalu ku tanyakan dari mana datangnya, rrumahnya mana, dan berbagai hal yang lain. Ternyata setelah melalui  pembicaraan yang lumayan berjalan lama tujuan nerbadan besar terssebut adalah untuk membayar syahriah ( bahasa SPP yang populer di kalangan ppondok pesantren) pondok untuk anaknya. Beliau adalah wali santri dari ananda zunaidi fadillah. Setelah tujuan yang dimaksudkan oleh wali santri selesai ia langsung pamit untuk langsung pulang karena ia juga mengatakan bahwa masih punya pekerjaan yang lain. Kembalilah aku ke kamar da bermaksud utuk kembali mengerjakann tugas ku tadi. Kututup pintu kamarku agar lebih tenang untuk mengerjakan tugas harapku, tapi apalah daya suara salam kembalil terdengar oleh tellingaku namun kali ini suara dari anak kecil, ku bukalah pintu dan benar si Bagas anak kelas 7 SMP diponegoro sudah berdiri ytegap di depan pintu spontan langsung ku suruh dia masuk kekamar karena akupun sudah paham apa yang dia inginkan, Bagas pasti ingin mengambil uang membeli jajan dan itupun terbukti dengan Bagas yang langsung melontarkan ucapannya untuk meminta uang. Langsung saja kuberikan uang miliknya, memang uang santri di pondok kami dititipkan untuk menurangi kesempatan jahat bagi beberapa temen yang masih punya kebiasaan buruk misal mencuri.

Suara motor terdengar mengarah di depan pondok, ternyata motor adiku yang ngentar 2 santri yang sakit tadi, tampak dari kamar hanya satu santri yang duduk dibelakang adikku yang sebagai sopirnya. Mereka langsung turun daari motor dan berjalan ke arahku, Hilmi atau yang terkenal dengan paanggilan cemet tadi memberi kabar bahwa yang satu sudah mulai sembuh tapi satunya lagi harus dirawat di rumah sakit.
 
Arvita Bunda rumah sakit ibu dan anak yang terletak di stan maguwoharjo depok sleman adalah rumah sakit yang mana satu santri pondok yang trombositnya hanya 114 dan tanda-tanda penyakit DBD mulai tampak. Setelah mendapatkan infomasi dari adikku kami langsung bersiap-siap untuk datang ke arvita bunda untuk menemani satu santrii yang harus di rawat. Kami terpaksa tidak bisa menikmati kemeriahan perayaan maulid nabi yang diadakan oleh yayasan pondok pesantren pageran diponegoro tersebut, kami berangkat dengan hati yang sedikit berat tapi semua itu tertuti oleh suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu memberi pertolonangan keppada sesama muslim. Sampailah kami di arvita bunda, kami menemui petugas penerima tamu dan kami menanyakan ruangan dimana santri yang bernama atoillah, kemudian petugas pun langsung menunjukkan tempat dan kami langsung ke ruangan tersebut.
Di dalam rungan tempat anak tersebut hanya di tempati oleh 1 orang jadi kami lebih leluasa dalam menemaninya. Rungan yang dilengkapi dengan fasilitas lebih misal TV, kamar mandi dalam, wastafel, kipas angin seakan membuat kami merasakan masuk rungan pasien yang elit. Kami mulai masuk pukul 12 siang sampai dengan sore pukul 5 sore tidak ada halr2 yang cukup merepotkan karena  dia tidur pulas, sesekali ada perawat yang menegok keadaan pasien satu ini entah mengecek suhu tubuuh atau apa yang masih dirasakan tapi itupun berjalan dengan biasa.  Setelah malam tiba anak yang tadinya hanya tidur dan sesekali bangun ketika ada dokter yang datang kini mulai bangun dan kadang mengeluarkan suara lirih nya sambil merintih haus, kakinya sakit ataupun sesak. Bahkan dia juga memanggil  ibu ataupun ngomong yang tidak jelas tapi hal itu kami maklumi karena keadaannya yang masih kecil dan harus belajar untuk tidak hidup bersama-sama dengan ayah dan ibunya. 




Selasa, 24 Februari 2015

TAFSIR HARTA

A.  Latar Belakang
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spritual. Dalam firman Allah SWT dijelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami bahwa sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta. Mengenai hal tersebut maka dalam makalah ini akan membahas mengenai konsep harta dalam ekonomi Islam di mana di dalamnya terdapat ayat dan hadits tentang harta dan pendekatan harta dalam ekonomi Islam.

B.       Pembahasan
Dari segi pengertian, harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berasal dari kata maala-yamiilu-maylan yang berarti condong, cenderung, dan miring. Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Menurut para fuqaha harta terdiri dari dua unsur, yaitu unsur 'aniyah dan unsur 'urf. Unsur 'aniyah ialah harta yang ada wujudnya dalam kenyataan (a'yan) sedangkan unsur 'urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia.[1]
Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir berbagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dzalim dan berlebihan.

1.      Harta Menurut Surat Ali Imran Ayat 14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ القَنَاطِيْرِ المُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَ الفِضَّةِ وَ الخَيْلِ المُسَوَّمَةِ وَ الاَنْعَامِ وَ الحَرْثِ ۗ ذَالِكَ مَتَاعُ الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ المَآبِ (ال عمران : ١٤ )
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas, perak, kuda pilihan, hewab ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” {Ali Imran (3) : 14}

Penafsiran berdasarkan Tafsir Al-Misbah
Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraisy Syihab menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan ada hal-hal yang menghalangi seseorang dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Ayat ini tidak menjelaskan siapa yang menjadikan indah hal-hal yang disebut oleh ayat ini, namun hanya membahas apa yang dijadikan indah itu.
 Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat yaitu aneka keinginan. Yang diperindah adalah kecintaan kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi, material. Dan yang ditekankan untuk dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang akan disebutkannya. Bisa jadi ada dari yang disebutkan itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau tidak terbendung. Tetapi kalau ia sudah dicintai maka akan sulit atau tidak terbendung. [2]
Hal-hal yang dicintai itu adalah keinginan terhadap wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang melimpah dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang.
Saat ayat ini hanya menyebutkan wanita saja, tidak menyebutkan laki-laki, dan menyebutkan anak laki-laki saja, sedangkan tidak menyebutkan anak perempuan bukan berarti yang dicintai oleh manusia hanya wanita-wanita saja atau anak laki-laki saja. Ada dua jawaban yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab[3] :
Pertama, ayat ini tidak menyebutkan secara eksplisit syahwat wanita terhadap laki-laki untuk menjaga kehalusan perasaan wanita. Kemudian tidak menyebutkan anak-anak perempuan, karena kondisi Arab waktu itu sangat mendambakan anak-anak laki-laki tetapi tidak menyambut baik hadirnya anak perempuan.
Kedua, berkaitan dengan gaya bahasa al-Qur’an yang cenderung mempersingkat uraian. Ayat ini tidak menyebutkan anak perempuan dalam redaksinya karena sudah menyebutkan wanita sebagai wakil yang menjadi salah satu yang dicintai oleh manusia. Demikian juga tidak menyebutkan lelaki sebagai yang dicintai karena sudah ada redaksi anak laki-laki.
Selain kecintaan manusia kepada hal-hal yang telah disebutkan di atas, manusia juga mencintai kepada harta yang tidak terbilang dan berlipat ganda.
Pertama adalah lafadz   ( القناطير ) al-qanathir yaitu lafadz jamak dari ( قنطار) qinthar. Pemahaman mengenai kata ini berbeda-beda. Ada yang mengartikannya dalam bilangan tertentu seperti 100 kg, atau uang dengan jumlah tertentu, dan ada juga yang tidak menyebutkan bilangan jumlah. Qinthar menurut pendapat kedua ini adalah timbangan tanpa batas. Ia merupakan sejumlah harta yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup, dan membelanjakannya guna meraih kenyamanan bagi dirinya dan keluarganya. Kata (مقنطرة) muqantharah adalah pelipatgandaan dari ( القناطير) al-qanathir.[4]
Dengan memperhatikan redaksi dua kata dalam ayat di atas, jelas bahwa manusia sangat mencintai harta. Bukan hanya satu qinthar yakni jumlah yang tidak terbatas dan saat mencukupinya meraih kenyamanan, tetapi juga qanathir, yakni jamak dari qinthar. Bukan saja harta yang banyak, tetapi manusia juga mencintai harta yang berlipat ganda. Inilah sifat manusia yang mencintai harta dalam bentuk emas, perak dan sebagainya.
Selain itu, ada juga kuda pilihan. Kata “pilihan” di sini mengandung banyak arti di antaranya adalah tempat penggembalaan yaitu kuda dapat makan dengan bebas, bukan diikat dan disediakan makan untuknya. Ada juga diartikan “yang bertanda” yaitu ada tanda-tanda khusus yang berbeda dengan kuda yang lain. Atau bermakna “terlatih dan jinak”. Meskipun banyak arti dari kata di atas, namun tetap berarti bahwa kuda itu bukan kuda biasa tapi merupakan kuda pilihan.[5]
Hal lain yang juga dicintai oleh manusia adalah binatang ternak ( (الانعام. Binatang ternak ini berupa sapi, kambing, domba, dan unta baik jantan maupun betina. Kemudia ada harts (حرث) yaitu sawah ladang. Kata lebih menunjuk kepada upaya membajak tanah, yang selanjunya diolah dan ditanami benih. Kemudian dapat menjadi sawah dan ladang.
Adapun yang memperindah itu semua adalah Allah SWT. Karena manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi dan mendapat tugas memakmurkan bumi maka dengan tujuan itulah Allah menganugerahkan naluri kepada manusia untuk mencintai hal-hal di atas serta memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya. Naluri inilah yang dijadikan pendorong utama bagi segala aktivitas manusia.
Pada akhir ayat ini disebutkan bahwa itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah sebaik-baik tempat kembali. Perlu diingat bahwa ketika al-Qur’an menyebutkan kecintaan kepada syahwat-syahwat itu adalah untuk mendorong aktivitas kerja dan untuk memperoleh apa-apa yang ada di sisi Allah, maka pada dasarnya semua itu baik. Dan memang di sisi Allah lah tempat kembali yang paling baik.[6]
Namun jika semua kesenangan itu didasarkan pada bisikan syetan, maka ia akan dijadikan tujuan hidup di dunia saja, bukan untuk akhirat. Cara memperolehnya dan cara menggunakannya pun akan sesuai dengan apa yang dianggapnya baik, padahal itu adalah bisikan dari setan.

2.    Harta dalam Hadits Rasulullah SAW.
Banyak riwayat yang menyinggung tentang harta dengan kemuliaannya, atau harta dengan hal buruk yang ada padanya. Namun semua itu tidak lain hanya supaya setiap umat Nabi Muhammad dapat mempelajarinya dengan baik dan mengiplementasikannya dalam kehidupan sekarang ini.
Terdapat salah satu hadits yang disanadkan dari Ka’ab bin Iyadhz bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتْنَةُ اُمَّتِيْ المَالُ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai fitnah (ujian), dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. At Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahihul jami’ no. 2148) [7]
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, bahkan zaman Nabi-nabi sebelumnya harta sudah menjadi hal yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Tidak ada orang yang dapat hidup tanpa memiliki harta. Harta di sini bukan saja diartikan sebagai materi atau uang, tapi anak, istri, keluarga juga merupakan harta.
Adanya harta yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia adalah sebagai ujian, sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas. Kemudian apakah yang diberi harta itu akan mempergunakannya dengan baik ataukah tidak. Jika dipergunakan dengan baik maka harta itu akan bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Namun jika malah digunakan untuk hal yang tida berguna, hal yang tidak disyari’atkan, apalagi yang haram, justru harta tersebut akan membawa keburukan bagi dirinya.[8]

3.      Harta Menurut Surat Al-Anfal ayat 28
وَ اعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ أَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌعَظِيْمٌ 
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” {Al-Anfaal (7) : 28}

Penafsiran bedasarkan Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir  ibnu katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah lanjutan penafsiran dari ayat sebelumnya yang menerangkan tentang khianat kepada Allah dan rasul serta khianat kepada amanah. Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Abu Lubabah bin Mundzir yang sadar telah berkhianat kepada Allah dan Rasul, maka dya bersumpah untuk tidak makan sampai ia meninggal karena kelaparan atau Allah menerima taubatnya. Lalu Lubabah mengikatkan dirinya pada tiang mesjid di madinah, lalu dia berdiam diri selama sembilan hari, sehingga dya pingsan karena tertatih-tatih kelaparan. Allah menurunkan ayat atas penerimaan taubatnya sehingga masyarakyat berbondong-bondong datang kepadanya memberikan kabar gembira atas penerimaan taubatnya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Yang benar ayat ini bersifat umum, meskipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena sebab khusus, namun yang terambil adalah keumuman lafadzh, bukan kekhususan sebab, menurut jumhurul ulama. Khianat itu mencakup dosa kecil dan dosa besar, yang berdampak pada diri seseorang, ataupun yang dampaknya terhdap  orang lain.”[9]
Ayat ini bermaksud untuk mengingatkan bahwa Allah memberikan harta dan anak kepada kita merupakan bagian dari ujian dan cobaan yang telah allah berkan kepada kita sebagai mahluknya. Allah ingin menguji kita dengan melihat apakah kita mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada kita (anak dan harta), mempergunakannya (harta) mendidiknya(anak) dengan benar berdasarkan perintahnya. Jika kita menjadikan anak dan harta kita sebagai kesibukan dan penghalang yang menyebabkan kita jauh darinya dan menjadikan penggantinya maka kita termasuk orang yang gagal terhadap ujiannya.
Pahala yang besar disini yang dimaksudkan adalah surga, surga akan kita dapatkan apabila kita menjalani ujian yang diberikan oleh Allah dengan baik. Surga-surganya lebih baik daripada harta karena kebanyakan dari harta dan anak akan menjadi musuh tidak memberi apa-apa kepadamu sedangkan Allah adalah dzat yang mengatur yang memiliki dunia dan akhirat. Dia memiliki pahala yang besar dihari kiamat.[10] Bahkan cinta kita kepada Rasul harus lebih didahulukan daripada cinta kita terhadap anak dan harta kita pernyataan ini sesuai dengan hadits nabi yang berbunyi “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganya, tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, keluarganya, hartanya, dan manusia seluruhnya.(HR Al-Bukhori)”.

Penafsiran bedasarkan Tafsir Jalalain
Dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang anak dan harta sebagai uian dari allah merupakan penghambat. Penghambat disini adalah sesuatu yang menghambat kita dalam perkara-kara akhirat seperti ibadah. Ayat ini memperingati kita untuk tidak berbuat khianat demi mereka hingga kita merelakan pahala yang besar lewat begitu saja. Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan tobatnya Abu Lubabah.[11]

4.      Harta dalam Hadits Rasulullah
Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: jika ada seseorang diantara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan fisik, maka hendaklah dia melihat orang yang lebih rendah darinya daripada melihat orang-orang yang diberi kelebihan (harta).”[12](HR. Muslim)
Rasulullah tidak melarang ummatnya untuk menjadi orang kaya dan Rasulullah pun tidak melarang ummatnya untuk menjadi orang miskin. Rasulullah hanya mengatur bagaimana seharusnya sikap orang-orang kaya agar tidak  menjadikannya sebagai manusia yang suka akan nikmatnya duniawi dan lupa pada urusan ukhrawi. Tidak hanya orang kaya yang diatur sikapnya oleh Allah dan Rasulullah dalam Al-Quran dan Hadits yang bersangkutan. Tetapi, bagaimana seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta juga diatur oleh Rasulullah.
Hadits ini berbicara bagaimana seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta terhadap orang yang memiliki harta lebih. Rasulullah memerintahkan untuk melihat kepada orang yang lebih rendah(harta atau fisik) dari pada mereka. Perintah ini bertujuan agar kita selalu mensyukuri nikmat apa saja yang telah Allah berikan kepada kita walaupun itu hanya sesuap nasi dan seteguk air. Jika, kita melihat kepada orang yang lebih rendah daripada kita contohnya yang belum makan selama tiga hari insyallah kita akan selalu mensyukurinya. Tapi, jka kita melihat kepada yang lebih tinggi hartanya insyallah kita akan menjadi kufur nimat dan akan di azab oleh Allah SWT.

5.    Pendekatan Harta dalam Ekonomi Islam
Islam merupakan agama yang sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an yang diturunkan terakhir kali pada saat haji wada yaitu surat al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-ucapkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Karena itu Islam mengatur seluruh rangkaian kehidupan dari semua aspek. Dimulai dari aspek yang paling utama yaitu agama, kemudian sosial, politik, dan juga ekonomi.
Dalam firman Allah SWT tersebut dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.[13]
Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber dayanya di alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. [14] Dan harta termasuk ke dalam salah satu sumber daya itu.

Asas Kepemilikan Harta
Dalam ekonomi islam terdapat empat asas kepemilikan harta antara lain, asas amanah, asas infiradiyah, asas  ijtima’iyah, dan manfaat. Berikut ini penjelasan dari keempat asas tersebut[15] :
a)         Asas amanah
Dalam asas ini disebutkan bahwa kepemilikan harta bukan mutlak milik manusia, kepemilikan harta secara mutlak adalah milik Allah. Sedangkan harta yang dimiliki manusia hanya berupa titipan dari allah yang sewaktu-watu dapat diambil oleh allah. Harta yang dimiliki manusia bersifat nisbih. Maka dari itu Dalam memanfaatkan harta haruslah menurut pada syariat allah. Allah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dinafkahkan. Manusia memiliki hak untuk mengeksploitasi harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan sesamanya. Allah juga menuntut kepada manusia agar tidak boros dan kikir dalam memanfaatkan hartanya. Cara dalam memperoleh harta harus menurut syariat yaitu dengan cara yang halal dan berkualitas
b)         Asas infiradiyah
Kepemilikan harta oleh individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat/barang atau manfaat (jasa) tertentu, ketetapan hukum tersebut memungkinkan siapa saja yang untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut bilamana barang tersebut diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli. Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.
Menurut an-Nabhani ada beberapa sebab-sebab kepemilikan harta berdasarkan hukum-hukum syara antara lain :
1.         Bekerja
2.         Warisan
3.         Kebutuhan hidup
4.         Harta pemberian
5.         Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta dan tenaga apapun
Pada dasarnya kepemilikan harta bersifat individual dan dapat disatukan dalam bentuk badan usaha seperti koperasi. Allah menghalalkan manusia untuk mencari sebanyak-banyaknya rizki di muka bumi ini. Islam meng-iktiraf kepemilikan harta secara individu. Pada masa yang sama Islam mensyaratkan pemilik harta supaya menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keselamatan harta serta melarang memperoleh harta secara haram.
Pemilikan harta individu yang tidak terkawal dan terarah boleh mendatangkan gangguan terhadap orang lain dan kebajikan umum. Demi kesejahteraan dan keharmonisan hidup masyarakat, Islam telah menentukan cara-cara pemilikan harta.   Asas ini berbeda dengan asas kepemilikan menurut kapitalis konvensional, yang memberikan kepada pemilik modal seluas-luasnya mengembakan kepemilikannya dengan mengabaikan hak-hak sosial.
c)         Asas ijtima’iyah
Menurut hukum Islam dalam hak individu terdapat hak masyarakat.   Hak masyarakat tidak akan menghapus hak individu, selama hak masyarakat itu digunakan untuk kepentingan bersama (umum).  Harta dapat dimiliki baik secara individu maupun secara kelompok, dan memiliki fungsi memnuhi kebutuhan hidup pemilik, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terhadap hak masyarakat. hak masyarakat dalam kepemilikan individu diasarkan pada kepekaan sosial individu. Kepekaan sosial ini terlihat dalam kewajiban individu untuk memenuhi kewajiban ibdah zakat, infak dan sedakah serta kewajiban sosial untuk kesejahteraan umum dalam bentuk pewakafan.
Hak-hak sosial yang terdapat dalam kepemilikan harta individu  menjadi suatu keharusan individu untuk memenuhinya. Pemenuhan hak-hak sosial itu  untuk peningkatan  kesejahteraan hidup masyarakat.
Betapa banyak para aghniyah mengabaikan asas ini, tidak ada sentifitas dan kepekaan sosial untuk membelanjakan kepemilikan harta mereka untuk kesejahteraan hidup masyarakat. Tidak atau kurang adanya kesadaran akan pertambahan nilai dari pemenuhan hak-hak sosial itu. Padahal Islam memberi sinyal bahwa memenuhi satu hak-hak sosial Allah akan menambahkkan tujuh puluh nilai kepemilikan harta.
d)        Asas Manfaat
Dari pendekatan filosis pemanfaatan kepemilikan harta pada asasnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat. Memanfaatkan harta untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi kewajiban primer, sedangkan kepentingan sosial kemasyarakatan menjadi kewajiban sekunder. Tetapai pada keadaan tertentu kewajiban sekunder akan menjadi kewajiban primer.
Asas manfaat dalam kepemilikan harta menempatkan pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga menjadi prioritas, betapa banyak sinyal-sinyal al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang menunjukkan itu. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api neraka. Nafkahilah kerabat-kerabatmu, kaum fakir dan miskin. Sinyal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan harta itu diutamakan untuk menikatkan kesejahteraan keluarga sebagai pondasi utama, jika telah terpenuhi kebutuhan kerabat, baru pemanfaatan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan orang fakir dan orang miskin.

C.      Kesimpulan
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spritual. Dan ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di alam raya ini. Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta.
Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Harta merupakan suatu kesenangan yang diberikan Allah kepada manusia sebagaimana yang tertera dalam surat Ali Imran ayat 14. Selain itu harta juga merupakan suatu ujian untuk menguji apakah manusia yang diberikan harta itu dapat bersyukur atau malah menjadi kufur. Hal ini tertera dalam hadits Rasulullah SAW di atas dan juga surat Al-Anfal ayat 28. Kemudian dalam hadits berikutnya Rasulullah SAW memerintahkan jika manusia diberi harta hendaknya ia tidak sombong dan terus melihat ke atas, namun yang harus ia lakukan adalah melihat ke bawah, kepada orang-orang yang justru lebih sedikit diberi harta supaya kita dapat mensyukuri harta yang dititipkan Allah tersebut.
Berkaitan dengan harta dalam pendekatan ekonomi Islam, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melarang seorang Muslim memiliki harta. Selain karena harta dapat menjadi salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, harta juga dapat digunakan untuk kemaslahatan ummat dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Lalu Islam mengatur kepemilikan harta yang dibagi dalam empat asas : asas amanah, asas infiradiyah, asas  ijtima’iyah, dan asas manfaat. Keempat asas ini sebagai pedoman bagi setiap muslim yang memiliki harta sehingga ia tidak mengambil hak yang bukan miliknya.

D.      Referensi
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Suyuthi, Jalalludin As- dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2001

[1]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2009, hlm. 25
[3] Ibid., hlm. 26
[4] Ibid., hlm. 27
[5] Ibid., hlm. 28
[6] Ibid., hlm. 29
[7] “ Menghindari dari Fitnah Harta dan Anak”, http://www.asysyariah.com/menghindari-dari-fitnah-harta-dan-anak/  Diakses tanggal 12 September 2014, pukul 12.16
[8] “ Ketahuilah, harta itu ujian”, http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/06/19/19560/ketahuilah-harta-itu-ujian/#sthash.reJKsGMz.dpbs Diakses tanggal 13 September 2014, pukul 08.50 
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i), 2004, hlm. 30
[10] Ibid, hlm. 31
[11] Jalalludin As-Suyuthi dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, (Bogor: pustaka imam syafi’i), 2001, hlm. 108
[12] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah), 2010, hlm. 803
[13] “Harta dalam perspektif Islam”, www.wardahcheche.blogspot.com/2014/01/harta-dalam-perspektif-islam.html?m=1  Diakses tanggal 09 September 2014 pukul 03.46
[14] Ibid.  
[15] Ibid.




Disusun oleh Neneng Ela Fauziyah 
Ustadzah di Madin Diponegoro Yogyakarta
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

EKONOMI MASA KHULAFAUR RASYIDIN



I. Pendahuluan
Madinah merupakan kota yang dituju Rasulullah SAW untuk berhijrah pada saat Mekkah bertambah sulit untuk dijadikan tempat berdakwah. Kondisi nyata saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah yaitu di sana setiap saat dihiasi dengan perang antar suku terutama suku Auz dan Khazraj yang memperebutkan kekuasaan. Hal ini karena kota Madinah sendiri belum mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Rasulullah SAW kemudian memikirkan cara yang paling efektif untuk membangun kota Madinah ini.[1]
Banyak langkah yang sudah dilakukan Rasulullah SAW untuk mengubah keadaan Madinah hingga beliau wafat di sana. Rasulullah SAW meninggalkan umatnya dengan sistem pemerintahan Madinah yang sudah terbentuk dan berjalan dengan baik. Berbicara tentang pemerintahan ini tidak akan pernah lepas kaitannya dengan perekonomian. Beliau telah mewariskan sistem ekonomi yang berakar kuat dari prinsip-prinsip Qur’ani dengan melakukan kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan ekonomi di kota Madinah.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, pemerintahan diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin yaitu khalifah-khalifah yang diberi petunjuk dan dipilih sebagai kepala Negara dan pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin umat Islam. Sahabat Rasulullah SAW yang menjadi Khulafaur Rasyidin ada empat orang, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Masa Khulafaur Rasyidin yang lamanya tidak lebih dari tiga puluh tahun, dimulai sejak tahun 11-41 H/632-661 M. Keempat khalifah ini meneruskan perjuangan Rasulullah SAW dengan cara dan gaya yang berbeda-beda. Mengenai kebijakan di bidang ekonominya pun, keempat khalifah ini memiliki langkah yang berbeda pula. Pada masa Khulafaur Rasyidin ini, sistem ekonomi yang telah terbentuk berkembang lebih jauh dan menemukan bentuk yang ideal.[2] Tidak sekedar teori, namun sudah berimplikasi besar terhadap pengembangan Islam.
Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas mengenai bagaimana para Khulafaur Rasyidin menerapkan sistem ekonomin dalam masa pemerintahan masing-masing yaitu sistem ekonomi masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Tujuannya supaya para pembaca dapat mengidentifikasi apa saja hal yang menjadikan sistem ekonomi pada masa ini dapat berkembang begitu pesat. Selain itu, dapat pula menjadi salah satu acuan untuk mengembangkan sistem ekonomi pada masa sekarang.   

II.    Pembahasan
A.    Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
1)      Biografi
‘Abdillah Bin ‘Utsman Abi Quhafah adalah nama sahabat nabi yang lebih masyhur dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Gelar Ash-Shiddiq ini didapatnya dari Rasul karena sifat kejujurannya dalam mengatakan hal yang benar. Abu Bakar bin Abu Quhafah adalah keturunan seorang bangsawan yang di masa mudanya sangat masyhur karena kebaikan budinya. Sahabat yang sangat baik hati sekaligus sebagai bapak mertua Rasulullah, sangat besar jiwa kemanusiannya. Sahabat yang  tidak akan rela melihat orang lain menderita, dan rakyat yang tertindas. Karena saking baiknya, dan ketidakrelaan melihat orang tertindas, terutama orang muslim. Abu Bakar sering kali memerdekaan budak, salah satunya Bilal bin Rabah, yang akhirnya menjadi muadzin Islam yang mengumandangkan adzan setiap waktu shalat tiba. Sebagai sahabat pertama nabi yang masuk Islam sangat besar pengorbanannya terhadap Islam, mengabdikan seluruh  jiwa raganya untuk agama.
Setelah Rasulullah wafat sahabat Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, tepatnya pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-11 Hijriyah. Diangkatnya Abu Bakar menjadi khalifah adalah hasil musyawarah para sahabat. Pada masa ke-khalifahannya Abu Bakar sangat bertanggung jawab dalam memegang amanah negara dan sangat bijaksana dalam memutuskan segala sesuatu. Dan juga mempunyai kelihaian dalam mengembangkan ajaran Islam. Pada saat Rasulullah wafat, perkembangan Islam masih terbatas pada Jazirah Arab saja. Namun, setelah Abu Bakar memegang kekuasan melanjutkan perjuangan beliau, daerah pengembangan Islam menjadi sangat luas sekali.
Pada tanggal 7 Jumadil Akhir, Abu Bakar jatuh sakit selama 2 minggu. Meskipun kondisinya sedang sakit, beliau masih tetap memikirkan masa depan negara dan selalu khawatir akan terjadi kericuhan apabila dirinya di panggil oleh sang Maha Kuasa. Namun takdir Allah SWT berkata lain. Meskipun upaya-upaya untuk menyembuhkan dirinya sudah dilakukan, tetap tidak bisa merubah kehendak Allah SWT. Tepatnya pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriyah beliau dipanggil oleh Allah SWT pada usia 63 tahun setelah selama 2 tahun memegang amanah negara dengan penuh tanggung jawab dan bijaksana.

2)        Praktek Ekonomi pada Masa Pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar yang terpilih menjadi khalifah pertama Islam sekaligus sebagai penerus perjuangan Rasulullah dalam menyiarkan ajaran Islam. Ia merupakan kepala negara dan juga pemimpin kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 2 tahun. Abu Bakar banyak menghadapi persoalan dalam negeri seperti kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan Islam.
Abu Bakar adalah seorang saudagar yang kaya raya pada masanya. Beliau memiliki argumen yang berkaitan dengan harga. Disebutkan bahwa “jumlah barang menentukan harga barang, dikala persedian barang maka harga akan cenderung turun, begitu juga sebaliknya”.[3] Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Abu Bakar melakukan berbagai kebijakan seperti yang dilakukan Rasulullah. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan kebijakan pembagian tanah taklukan, sebagian untuk umat muslim dan sebagian lagi tetap menjadi tanggungan negara. Di samping itu, beliau mengambil alih tanah dari orang murtad kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan.[4]
Abu Bakar juga sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat, sehingga tidak terjadi kekurangan mau pun kelebihan dalam pembayarannya.[5] Hasil dari semua pengumpulan tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara, dan disimpan di Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Dalam Pendistribusian harta Baitul Mal diterapkan dengan prinsip kesamarataan, memberikan jumlah yang sama terhadap para sahabat, tanpa memperdulikan sahabat mana yang lebih dulu masuk Islam, antara hamba dan orang merdeka, pria maupun wanita. Menurutnya, dalam keutamaan beriman, Allah SWT yang akan memberikan ganjarannya. Namun dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.[6]
Dengan demikian, pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk pada kurun waktu yang lama, karena langsung didistribusikan secara menyeluruh kepada kaum muslimin. Bahkan, ketika Abu Bakar wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara. Apabila terjadi peningkatan dalam pendapatan negara, maka semua kaum muslimin mendapatkan manfaat yang sama dan tidak ada yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan agregate demand dan agregate supply yang pada akhirnya akan menaikan total pendapatan nasional, juga memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dan yang miskin.[7]

B.     Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Nama lengkapnya Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza Al-Quraisy, biasa dipanggil Abu Hafsh (anak singa) dan digelari Al-Faruq (pemisah antara yang hak dan batil). Ia adalah seorang yang cerdas, petarung yang tangguh, pandai menulis dan membaca, dan ia selalu diutus untuk mewakili sukunya, dan menjadi kebanggaan kaum Quraisy.[8] Sebelum masuk Islam, ia adalah orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam. Ia masuk Islam setelah mendengar saudaranya (Fatimah binti Khattab) membaca ayat-ayat Al-Qur’an, padahal waktu itu Umar hendak membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi.[9]
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 10 tahun, ia berhasil menaklukkan wilayah Syam, Irak, Persia, Mesir, Burqah, Azerbaijan, dan Jurjan. Selain itu, ia berhasil mencetak mata uang Dirham dengan cap Alhamdulillah pada satu sisi  dan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah di sisi lainnya. Umar juga merupakan seorang pemimpin yang sangat memperhatikan rakyatnya dan terkenal tegas kepada pembantunya. Untuk itu, ia mengaudit kekayaan para pejabat dan pegawai negara dan menyusun sebuah undang-undang “Min Aina Laka Hadza?”.[10]
Umar bin Khattab dipandang banyak melakukan inovasi mengenai permasalahan perekonomian, hal ini dapat dilihat dari beberapa pemikiran serta gagasannya yang mampu membuat Islam berkembang pada masanya. Dengan perluasan wilayah daerah kekuasaan yang terjadi begitu cepat, maka Umar pun dengan segera memberlakukan administrasi negara dan juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.[11]
Selain hal tersebut, Umar juga mengambil langkah-langkah penting dalam bidang pertanian seperti ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakatnya dengan syarat mampu menggarapnya, serta membangun lembaga yang khusus untuk mendukung programnya tersebut. Selanjutnya dalam bidang perdagangan Umar juga menyempurnakan hukum perdagangan yang mengatur tentang pajak dan mendirikan pasar-pasar dengan tujuan untuk menggerakkan roda perekonomian rakyat. Umar juga menjadikan Baitul Mal yang memang sudah ada sejak pemerintahan Abu Bakar menjadi reguler dan permanen. Namun dalam mendistribusikan harta Baitul Mal, Umar menerapkan prinsip keutamaan. Hal ini dilatarbelakangi karena semakin meluasnya pemerintahan Islam pada masa Umar dan juga ditandai dengan pendapatan negara yang mengalami peningkatan yang sangat signifikan.[12]
Selain itu, Khalifah Umar juga mendirikan dewan yang bertugas memberikan tunjangan bagi angkatan perang, pensiunan, dan tunjangan lainnya. Di sisi lain, Umar juga mendirikan lembaga survey yang dikenal sebagai Nassab yang bertugas melakukan sensus terhadap penduduk Madinah, menjadikan pajak dalam beberapa tingkatan sesuai kemampuan ekonomi rakyatnya, mengambil zakat seorang budak atau seekor kuda, memperkenalkan sistem jaga malam dan patroli, serta memberlakukan mekanisme gaji kepada para anggota Militer yang dinamakan Al-Diwan.[13]



C.   Ustman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Utsman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan Assabiqunal Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah SAW sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati diantara kaum muslimin.[14]
Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. Beliau dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum.[15]
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman bin Affan berhasil memperluas kekuasan Islam sampai ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, serta Tabaristan. Selain itu juga, beliau berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah Khurasan dan Iskandariah. Beliau merupakan khalifah yang kaya. Pada Perang Tabuk (Perang besar) beliau menyumbangkan 100 ekor unta agar tentara perang muslim tidak lelah karena jaraknya yang jauh.[16]
Pada enam tahun masa pemerintahannya, Usman banyak mengikuti kebijakan ekonomi Umar bin Khattab yang lebih terfokus melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan khalifah sebelumnya. Hal ini paling tidak didasari atas semakin luasnya kekuasaan Islam, dengan kata lain bahwa sumber pemasukan negara dari berbagai unsur seperti zakat, jizyah dan ghonimah semakin besar. Dalam mengembangkan SDA, Ustman melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan, serta pembentukan organisasi kepolisian secara permanent guna mengamankan jalur perdagangan. Selain itu, Ustman juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk fakir miskin dan musafir. Selama pemerintahannya, Ustman juga melakukan perubahan administrasi tingkat atas dan mengganti beberapa gubernur, dalam pengelolaan tanah negara Ustman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah tersebut kepada penduduh dengan tujuan reklamasi. Ustman menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya yang dilakukan oleh Umar.                                                                    
Memasuki enam tahun kedua pemerintahannya, tidak terdapat perubahan mendasar dalam bidang perekonomian, hal ini lebih disebabkan karena mulai banyak kekecewaan kaum muslimin yang ditimbulkan oleh kebijakan Ustman sendiri yang di anggap banyak menguntungkan keluarga khalifah, akibatnya pada masa pemerintahannya lebih banyak timbul kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya khalifah Usman.

D.   Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
1)    Biografi
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muththalib bin Abdi Manaf bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah. Abul Hasan dan Husein ini digelari Abu Turab. Beliau keponakan sekaligus menantu Rasulullah SAW dari puteri Rasul Fathimah az-Zahra’. Ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan seorang putera Bani Hasyim. Beliau memiliki beberapa orang saudara laki-laki; Thalib, Aqiel dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari beliau, masing-masing terpaut sepuluh tahun. Beliau memiliki dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah. Keduanya adalah puteri Fathimah binti Asad, ia telah masuk Islam dan turut berhijrah. Ayah beliau bernama Abu Thalib. Dia adalah paman kandung yang sangat menyayangi Rasulullah SAW. Demikianlah yang disebutkan oleh Imam Ahmad dan ulama-ulama ahli nasab dan sejarah.[17]
Setelah terbunuhnya Usman, maka timbul anarkhi di Ibu Kota Negara dan pada hari kelima. Ali dengan suara bulatnya terpilih menjadi khalifah menggantikan Usman. Setelah menjadi Khalifah, Ali bin Abi Thalib menempatkan kembali kondisi Baitul Mal pada posisi sebelumnya. Beliau juga membuat kebijakan antara lain[18] :
a.     Memecat beberapa pejabat yang diangkat Usman yang dianggapnya tidak kompeten.
b.     Mengambil tanah yang dibagikan Usman kepada keluarganya tanpa alasan yang benar.
c.     Memberikan bantuan kepada kaum muslimin berupa tunjangan yang diambil dari Baitul Mal.
d.    Mengatur kembali tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat serta memindah pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah.
Kebijakan yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib ini telah menyerang orang-orang yang telah memperkaya dirinya semasa pemerintahan yang lama. Beberapa orang-orang Utsman rela menyerahkan jabatannya tanpa melakukan perlawanan. Sementara yang lainnya menolak. Di antara yang menolak adalah Muawiyah, Gubernur Syiria yang kemudian bersama sekutu-sekutunya menuntut pembalasan atas kematian Utsman.
Ali berkuasa selama 5 tahun. Sejak awal dia selalu mendapatkan perlawanan dari kelompok yang bermusuhan dengannya, pemberontakan kaum khawarij dan peperangan berkepanjangan dengan Muawiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang independen di daerah Syiria dan kemudian Mesir.
2)    Pemikiran Ekonomi Ali Bin Abi Thalib[19]
Di samping pemerintahan Ali masih ada beberapa ketidakjelasan permasalahan yang dilakukan oleh Ali dalam membebankan khums atas ikan atau hasil hutan. Menurut Baladhuri, Ali membebankan para pemilik hutan (Ajmat) 4.000 dirham. Dia menulis kepada merek sebuah pernyataan  yang ditulis di atas sehelai perkamen. Hutan-hutan ini terhampar di daerah istana Raja Namruj di Babilonia. Di hutan ini, terdapat ngarai yang dalam, yang menurut beberapa orang tanah untuk batu-batu istana di buat dan menurut yang lainnya itu adalah tanah longsor.
Ibnu Abbas, Gubernur Ali di Kuffah, memungut zakat atas sayuran yang tidak membusuk yang digunakan sebagai bumbu. Seperti sudah dinyatakan sebelumnya, Ali tidak hadir pada pertemuan Majelis Syuro di Djabiya (masuk wilayah Madinah) yang diadakan oleh Umar untuk menyepakati peraturan-peraturan yang sangat penting yang berkaitan dengan daerah taklukkan. Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Mal, tetapi menyimpan sebagian untuk cadangan. Semua kesepakan itu berlawanan dengan pendataan Ali. Oleh karena itu, ketika menjabat sebagai khalifah, dia mendistribusikan seluruh pendapatan dan provinsi yang ada di Baitul Maal Madinah, Busra dan Kuffah. Prinsip utama  dari pemerataan distribusi uang rakyat diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari sabtu itu semua perhitungan diselesaikan dan dimulai perhitungan baru.
Kurang atau lebih alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan Utsman hampir dihilangkan seluruhnya, karena daerah sepanjang garis pantai Syiria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah. Tetapi dengan adanya penjaga malam dan patrol (diciptakan oleh Umar), khalifah keempat tetap menyediakan polisi regular yang terorganisasi yang disebut Shurta, dan pemimpinnya diberi gelar Sahibush-Surta.
Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, admisnistrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditunjukkan kepada Malik Ashter bin Harith. Surat itu antara alain mendeskripsikan tugas kewajiban dan tanggung jawab penguasa, menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi terhadap keadilan, kontrol atas pejabat petinggi staf, menjelaskan kebaikan dan kekurangan jaksa, hakim, abdi hukum, penguraikan pendapatan pegawai administrasi ddan pengadaaan bendahara. Surat ini menjelaskan bagaimana berurusan dengan sipil, pengadilan dan angkatan perang. Ali menekankan Malik agar lebih memperhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarga mereka dan diharapkan berhubungan langsung dengan masyarakat melalui pertemuan yang terbuka, terutama dengan orang-orang yang miskin, orang yang teraniaya dan orang-orang yang cacat. Di surat ini juga ada instruksi untuk melawan koupsi dan penindasan, mengontrol pasar dan memberantas para tukang catut, penimbunan barang, dan pasar gelap.
Jadi selama pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dalam kepemimpinanya melakukan kebijakan antara lain :
a)     Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan
b)    Pengeluaran angkatan laut dihilangkan
c)     Adanya kebijakan pengetatan anggaran
d)    Dan hal yang sangat monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, di mana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia
Pemerintahan Ali berakhir dengan terbunuhnya beliau di tangan Ibnu Muljam dari kelompok khawarij. Jenazahnya dimandikan kedua putranya Hasan dan Husein, kemudian dimakamkan di Kuffah. Tetapi, Ibnu Asir menyatakan bahwa ia dikuburkan di Neft. Ali meninggal pada usia 63 tahun setelah memerintah selam 5 tahun 3 bulan.

III.      Kesimpulan
Sistem ekonomi suatu negara merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama oleh para pemimpinnya. Karena ekonomi merupakan pangkal utama berjalannya suatu negara. Demikian juga pada masa Khulafaur Rasyidin, sistem ekonomi sangat diperhatikan.
Pada masa Abu Bakar kebijakanyang dilakukan adalah seperti yang dilakukan Rasulullah. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan kebijakan pembagian tanah taklukan, sebagian untuk umat muslim dan sebagian lagi tetap menjadi tanggungan negara. Selain itu, beliau mengambil alih tanah dari orang murtad kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Beliau juga sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat dan memperhatikan pendistribusiannya dengan cermat sehingga dapat sampai pada masyarakat secara menyeluruh dan sama rata.
Kemudian masa Umar bin Khatab, kebijakan yang dilakukannya adalah mencetak mata uang Dirham dengan cap Alhamdulillah pada satu sisi dan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah di sisi lainnya. Selain itu, beliau melakukan audit kekayaan para pejabat dan pegawai negara dan menyusun sebuah undang-undang “Min Aina Laka Hadza?”. Umar juga mengambil langkah-langkah penting dalam bidang pertanian dan menjadikan Baitul Mal yang memang sudah ada sejak pemerintahan Abu Bakar menjadi reguler dan permanen. Namun cara pendistribusiannya dengan mengutamakan prinsip keutamaan. Juga langkah-langkah lain di bidang ekonomi yang menyebabkan pemerintahannya berjalan dengan sangat baik.
Utsman bin Affan mengikuti kebijakan ekonomi Umar bin Khattab yang lebih terfokus melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan khalifah sebelumnya. Dalam pemberdayaan SDA, Ustman melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan, serta pembentukan organisasi kepolisian secara permanen guna mengamankan jalur perdagangan. Beliau juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk fakir miskin dan musafir melakukan perubahan administrasi tingkat atas  serta mengganti beberapa gubernur. Dalam pengelolaan tanah negara Ustman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah tersebut kepada penduduk dengan tujuan reklamasi.
Khalifah terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Beliau melakukan kebijakan-kebijakan di antaranya :
a)        Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan
b)        Pengeluaran angkatan laut dihilangkan
c)        Adanya kebijakan pengetatan anggaran
d)       Pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, di mana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia
Dari sejarah tentang sistem perekonomian masa Khulafaur Rasyidin ini, diharapkan kita tidak lupa terhadap sejarah dan dapat menjadi salah satu acuan untuk pengembangan ekonomi sekarang.

IV.   Referensi
Azwar Karim, Adiwarman. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Afzalurrahman, 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT.Dhana Bhakti Wakaf. Jilid 2.
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mursi, Muhammad Sa’id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Oktavia, Evi. 2009. “Ekonomi Syariah Sebagai Sistem Ekonomi”. Jurnal. Jurnal Bisnis, Manajemen dan Ekonomi Universitas Widyatama. Vol. 9.
Hadi, Nurfitri, “Keutamaan Utsman bin Affan”,
Diakses 30 September 2014.
Muhlisin, “Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin. http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-khulafaur-raosyidin.  Diakses 30 september 2014
Fatah, Abdul. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, https://prasastihati.files.wordpress.com/2008/12/mkl-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.  Diakses 30 September 2014






[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 24
[2] Evi Oktavia, “Ekonomi Syariah Sebagai Sistem Ekonomi”, Jurnal Bisnis, Manajemen dan Ekonomi Universitas Widyatama, Vol. 9, 2009, hlm. 2086
[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012).
[4] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti wakaf, 1995), Jilid 2, hlm. 320
[5] M.A. Swabswari, Sistem Ekonomi Dan Fiskal Pada Masa Al-Khulafa Al-Rasyidun, (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2001), Cet. Ke-1, hlm. 44
[6] Afzalurrahman, Op.Cit,. jilid 1, hlm. 163
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., Op.Cit,. hlm. 57
[8] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 10
[9] “Islam pada Masa Khulafaur Rassyidin” http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-khulafaur-raosyidin.pdf, Diakses 30 september 2014, pukul 12.16, hlm. 9
[10] Muhammad Sa’id Mursi, op.cit., hlm. 13
[11] “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, https://prasastihati.files.wordpress.com/2008/12/mkl-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.pdf, Diakses 30 September 2014, pukul 12.19, hlm. 5
[12] Ibid., hlm. 5
[13] Ibid., hlm. 6
[14] “Keutamaan Utsman bin Affan”,  http://kisahmuslim.com/keutamaan-utsman-bin-affan/ Diakses tanggal 30 September 2014, pukul 12.36.
[15] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., Op.Cit,. hlm. 78
[16] Ibid., hlm. 79
[17] Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
[18] Ibid.
[19] Ibid.





Disusun oleh :
Ahmad Muchassin
Beni Munthe
Fahmi Shiddiqi
Muhammad Hadyan Faris
Neneng Ela Fauziyyah


JURUSAN EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA