Selasa, 12 Mei 2015
Senin, 27 April 2015
Sabtu, 28 Februari 2015
Bermalam di Arvita Bunda
Ahad ( atau yang lebih masyhur dengan sebutan Minggu ) pagi iini aku bangun kesiangan karena malamnya bisa tidur pukul stengah satu malam. Kebetulan di pondok sedang ada hajatan besar yakni peringatan maulid nabi muhammad saw yang seluruh lembaga pendidikan yang dibawah naungan yayasan pondok pesantren pangeran diponegoro mengadakan lomba-lomba untuk kalangan pelajar. Suasana pondok sangat ramai semuanya tampak berbungah-bungah karena ada hajatan besar nan ramai namun di balik ada santri yang sedang sakit berhari-hari dan tak kunjung sumbuh. Bangun dari tidur aku langsung bergegas untuk wudlu dan langsung melaksanakan sholat subuh qada karena bangunku yang kesiangan tadi.
Setelah sholatku yang qada tadi aku langsung ingat keadaan santri yang sedang sakit karena beberapa hari terakhir yang sakitnya tak kunjung sembuh itu selain sebagai santri anak tersebut masih mempunyai hubungan saudara denganku tepatnya dia anak dari kakak sepupu jadinya lebih punya rasa lebih untuk selalu mengurusinya. Dua anak yang sakit masih tertidur di ranjangnya masing-masing langsung aku datangi ternyata belum sarapan padahal saat itu pukul 10 siang langsung akku bergegas mengambil makan muntuk keduanya. Semakit menakutkan setiap tak ambilkan makan selalu gak mereka makan katanya sih makan gak ada rasanya trus kalau buat makan langsung pingin muntah. Kebetulan di jogaja aku jyga punya adik yang tinggal uga satu pondok, namaya Sofwan Hilmi tapi di pondok dia lebih populer dipanggil dengan nama lain yakni cemet entah apa sebab awalnya adikku ini yang punya nama bagus malah punya panggilan yang kurang baik ini. Akupun memanggilnya untuk aku suruh nganterin kedua santri sekaligus saudara kku ini untuk tes darah di klinik kesehatan terdekat.
Pondok yang sangat ramai membuatku malas untuk belajar padahal hari itu adalah suasana ujian untuk kampusku yakni UIN SUKA, akhirnyapun aku memutuskan untuk mempersiapkan sedikit beberapa tugas yang masih ada yang mau tak mau harus menghadap komputer minniku ini. Mulailah aku mengerjakan tugas-tugas tersebut, suara salam yang terus berbunyi mebuatku keluar kamar untuk melihat adakah tamu yang datang, bergegas keluar kamar ternyata benar seorang lelaki yang tampak berbadan besar dan soopan berada di depan kantor pondok yang kebetulan tempat kantor yang bersebelahan dengan kamarku. Langsung aku menemuia tamu tersebut dan dipersilahkan umtuk masuk dan duduk. Pada pertemuan saat itu untuk mengawali ada basa-basi yang secara spontan keluar dari mulutku ini ada saja yang selalu ku tanyakan dari mana datangnya, rrumahnya mana, dan berbagai hal yang lain. Ternyata setelah melalui pembicaraan yang lumayan berjalan lama tujuan nerbadan besar terssebut adalah untuk membayar syahriah ( bahasa SPP yang populer di kalangan ppondok pesantren) pondok untuk anaknya. Beliau adalah wali santri dari ananda zunaidi fadillah. Setelah tujuan yang dimaksudkan oleh wali santri selesai ia langsung pamit untuk langsung pulang karena ia juga mengatakan bahwa masih punya pekerjaan yang lain. Kembalilah aku ke kamar da bermaksud utuk kembali mengerjakann tugas ku tadi. Kututup pintu kamarku agar lebih tenang untuk mengerjakan tugas harapku, tapi apalah daya suara salam kembalil terdengar oleh tellingaku namun kali ini suara dari anak kecil, ku bukalah pintu dan benar si Bagas anak kelas 7 SMP diponegoro sudah berdiri ytegap di depan pintu spontan langsung ku suruh dia masuk kekamar karena akupun sudah paham apa yang dia inginkan, Bagas pasti ingin mengambil uang membeli jajan dan itupun terbukti dengan Bagas yang langsung melontarkan ucapannya untuk meminta uang. Langsung saja kuberikan uang miliknya, memang uang santri di pondok kami dititipkan untuk menurangi kesempatan jahat bagi beberapa temen yang masih punya kebiasaan buruk misal mencuri.
Suara motor terdengar mengarah di depan pondok, ternyata motor adiku yang ngentar 2 santri yang sakit tadi, tampak dari kamar hanya satu santri yang duduk dibelakang adikku yang sebagai sopirnya. Mereka langsung turun daari motor dan berjalan ke arahku, Hilmi atau yang terkenal dengan paanggilan cemet tadi memberi kabar bahwa yang satu sudah mulai sembuh tapi satunya lagi harus dirawat di rumah sakit.
Arvita Bunda rumah sakit ibu dan anak yang terletak di stan maguwoharjo depok sleman adalah rumah sakit yang mana satu santri pondok yang trombositnya hanya 114 dan tanda-tanda penyakit DBD mulai tampak. Setelah mendapatkan infomasi dari adikku kami langsung bersiap-siap untuk datang ke arvita bunda untuk menemani satu santrii yang harus di rawat. Kami terpaksa tidak bisa menikmati kemeriahan perayaan maulid nabi yang diadakan oleh yayasan pondok pesantren pageran diponegoro tersebut, kami berangkat dengan hati yang sedikit berat tapi semua itu tertuti oleh suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu memberi pertolonangan keppada sesama muslim. Sampailah kami di arvita bunda, kami menemui petugas penerima tamu dan kami menanyakan ruangan dimana santri yang bernama atoillah, kemudian petugas pun langsung menunjukkan tempat dan kami langsung ke ruangan tersebut.
Di dalam rungan tempat anak tersebut hanya di tempati oleh 1 orang jadi kami lebih leluasa dalam menemaninya. Rungan yang dilengkapi dengan fasilitas lebih misal TV, kamar mandi dalam, wastafel, kipas angin seakan membuat kami merasakan masuk rungan pasien yang elit. Kami mulai masuk pukul 12 siang sampai dengan sore pukul 5 sore tidak ada halr2 yang cukup merepotkan karena dia tidur pulas, sesekali ada perawat yang menegok keadaan pasien satu ini entah mengecek suhu tubuuh atau apa yang masih dirasakan tapi itupun berjalan dengan biasa. Setelah malam tiba anak yang tadinya hanya tidur dan sesekali bangun ketika ada dokter yang datang kini mulai bangun dan kadang mengeluarkan suara lirih nya sambil merintih haus, kakinya sakit ataupun sesak. Bahkan dia juga memanggil ibu ataupun ngomong yang tidak jelas tapi hal itu kami maklumi karena keadaannya yang masih kecil dan harus belajar untuk tidak hidup bersama-sama dengan ayah dan ibunya.
Selasa, 24 Februari 2015
TAFSIR HARTA
A. Latar Belakang
Islam
merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua
aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat
spritual. Dalam firman Allah SWT dijelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik
yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu
aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami bahwa sebagai
agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep
ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam
menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ekonomi Islam merupakan konsekuensi
logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah
dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan
keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal,
seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain
ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi,
sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di alam raya ini. Allah Swt
mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan harta merupakan salah satu
kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak
ada manusia yang tidak membutuhkan harta. Mengenai hal tersebut maka dalam
makalah ini akan membahas mengenai konsep harta dalam ekonomi Islam di mana di
dalamnya terdapat ayat dan hadits tentang harta dan pendekatan harta dalam
ekonomi Islam.
B. Pembahasan
Dari
segi pengertian, harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berasal
dari kata maala-yamiilu-maylan yang berarti condong, cenderung, dan
miring. Harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi
maupun dalam manfaat. Menurut para fuqaha harta terdiri dari dua unsur, yaitu
unsur 'aniyah dan unsur 'urf. Unsur 'aniyah ialah harta
yang ada wujudnya dalam kenyataan (a'yan) sedangkan unsur 'urf
ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian
manusia.[1]
Materi atau
harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan,
dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka
kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan
untuk merealisir berbagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak
cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat
materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dzalim
dan berlebihan.
1.
Harta Menurut Surat
Ali Imran Ayat 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ القَنَاطِيْرِ المُقَنْطَرَةِ مِنَ
الذَّهَبِ وَ الفِضَّةِ وَ الخَيْلِ المُسَوَّمَةِ وَ الاَنْعَامِ وَ الحَرْثِ ۗ ذَالِكَ
مَتَاعُ الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ المَآبِ (ال عمران : ١٤ )
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat,
yaitu wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta benda yang bertumpuk dalam
bentuk emas, perak, kuda pilihan, hewab ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.”
{Ali Imran (3) : 14}
Penafsiran berdasarkan Tafsir Al-Misbah
Dalam tafsir al-Misbah karya M.
Quraisy Syihab menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan ada hal-hal yang
menghalangi seseorang dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Ayat
ini tidak menjelaskan siapa yang menjadikan indah hal-hal yang disebut oleh
ayat ini, namun hanya membahas apa yang dijadikan indah itu.
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan
kepada aneka syahwat yaitu aneka keinginan. Yang diperindah adalah kecintaan
kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit
terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi, material. Dan yang ditekankan
untuk dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang akan disebutkannya. Bisa
jadi ada dari yang disebutkan itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau
tidak terbendung. Tetapi kalau ia sudah dicintai maka akan sulit atau tidak
terbendung. [2]
Hal-hal yang dicintai itu adalah
keinginan terhadap wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang melimpah
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang.
Saat ayat ini hanya menyebutkan wanita
saja, tidak menyebutkan laki-laki, dan menyebutkan anak laki-laki saja,
sedangkan tidak menyebutkan anak perempuan bukan berarti yang dicintai oleh
manusia hanya wanita-wanita saja atau anak laki-laki saja. Ada
dua jawaban yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab[3] :
Pertama, ayat ini tidak menyebutkan
secara eksplisit syahwat wanita terhadap laki-laki untuk menjaga kehalusan
perasaan wanita. Kemudian tidak menyebutkan anak-anak perempuan, karena kondisi
Arab waktu itu sangat mendambakan anak-anak laki-laki tetapi tidak menyambut
baik hadirnya anak perempuan.
Kedua, berkaitan dengan gaya bahasa
al-Qur’an yang cenderung mempersingkat uraian. Ayat ini tidak menyebutkan anak
perempuan dalam redaksinya karena sudah menyebutkan wanita sebagai wakil yang
menjadi salah satu yang dicintai oleh manusia. Demikian juga tidak menyebutkan
lelaki sebagai yang dicintai karena sudah ada redaksi anak laki-laki.
Selain kecintaan manusia kepada
hal-hal yang telah disebutkan di atas, manusia juga mencintai kepada harta
yang tidak terbilang dan berlipat ganda.
Pertama adalah lafadz ( القناطير ) al-qanathir
yaitu lafadz jamak dari (
قنطار) qinthar. Pemahaman mengenai kata ini berbeda-beda. Ada yang
mengartikannya dalam bilangan tertentu seperti 100 kg, atau uang dengan jumlah
tertentu, dan ada juga yang tidak menyebutkan bilangan jumlah. Qinthar menurut
pendapat kedua ini adalah timbangan tanpa batas. Ia merupakan sejumlah harta
yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup, dan
membelanjakannya guna meraih kenyamanan bagi dirinya dan keluarganya. Kata (مقنطرة) muqantharah adalah pelipatgandaan dari (
القناطير) al-qanathir.[4]
Dengan
memperhatikan redaksi dua kata dalam ayat di atas, jelas bahwa manusia sangat
mencintai harta. Bukan hanya satu qinthar yakni jumlah yang tidak
terbatas dan saat mencukupinya meraih kenyamanan, tetapi juga qanathir,
yakni jamak dari qinthar. Bukan saja harta yang banyak, tetapi manusia juga
mencintai harta yang berlipat ganda. Inilah sifat manusia yang mencintai harta
dalam bentuk emas, perak dan sebagainya.
Selain itu,
ada juga kuda pilihan. Kata “pilihan” di sini mengandung banyak arti di
antaranya adalah tempat penggembalaan yaitu kuda dapat makan dengan
bebas, bukan diikat dan disediakan makan untuknya. Ada juga diartikan “yang
bertanda” yaitu ada tanda-tanda khusus yang berbeda dengan kuda yang lain. Atau
bermakna “terlatih dan jinak”. Meskipun banyak arti dari kata di atas, namun
tetap berarti bahwa kuda itu bukan kuda biasa tapi merupakan kuda pilihan.[5]
Hal lain
yang juga dicintai oleh manusia adalah binatang ternak (
(الانعام. Binatang ternak ini berupa sapi, kambing, domba, dan unta baik
jantan maupun betina. Kemudia ada harts (حرث)
yaitu sawah ladang. Kata lebih menunjuk kepada upaya membajak tanah, yang
selanjunya diolah dan ditanami benih. Kemudian dapat menjadi sawah dan ladang.
Adapun yang
memperindah itu semua adalah Allah SWT. Karena manusia diciptakan untuk menjadi
khalifah di bumi dan mendapat tugas memakmurkan bumi maka dengan tujuan itulah
Allah menganugerahkan naluri kepada manusia untuk mencintai hal-hal di atas
serta memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya. Naluri inilah yang
dijadikan pendorong utama bagi segala aktivitas manusia.
Pada akhir
ayat ini disebutkan bahwa itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi
Allah lah sebaik-baik tempat kembali. Perlu diingat bahwa ketika al-Qur’an
menyebutkan kecintaan kepada syahwat-syahwat itu adalah untuk mendorong aktivitas
kerja dan untuk memperoleh apa-apa yang ada di sisi Allah, maka pada dasarnya
semua itu baik. Dan memang di sisi Allah lah tempat kembali yang paling baik.[6]
Namun jika
semua kesenangan itu didasarkan pada bisikan syetan, maka ia akan dijadikan
tujuan hidup di dunia saja, bukan untuk akhirat. Cara memperolehnya dan cara
menggunakannya pun akan sesuai dengan apa yang dianggapnya baik, padahal itu
adalah bisikan dari setan.
2. Harta dalam Hadits
Rasulullah SAW.
Banyak
riwayat yang menyinggung tentang harta dengan kemuliaannya, atau harta dengan
hal buruk yang ada padanya. Namun semua itu tidak lain hanya supaya setiap umat
Nabi Muhammad dapat mempelajarinya dengan baik dan mengiplementasikannya dalam
kehidupan sekarang ini.
Terdapat
salah satu hadits yang disanadkan dari Ka’ab bin Iyadhz bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتْنَةُ اُمَّتِيْ
المَالُ
“Sesungguhnya
setiap umat mempunyai fitnah (ujian), dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. At Tirmidzi no. 2336, dishahihkan
oleh al-Albani dalam shahihul jami’ no. 2148) [7]
Sejak zaman
Nabi Muhammad SAW, bahkan zaman Nabi-nabi sebelumnya harta sudah menjadi hal
yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Tidak ada orang yang dapat hidup tanpa
memiliki harta. Harta di sini bukan saja diartikan sebagai materi atau uang,
tapi anak, istri, keluarga juga merupakan harta.
Adanya harta
yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia adalah sebagai ujian,
sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas. Kemudian apakah yang diberi
harta itu akan mempergunakannya dengan baik ataukah tidak. Jika dipergunakan
dengan baik maka harta itu akan bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi
dirinya. Namun jika malah digunakan untuk hal yang tida berguna, hal yang tidak
disyari’atkan, apalagi yang haram, justru harta tersebut akan membawa keburukan
bagi dirinya.[8]
3. Harta
Menurut Surat Al-Anfal ayat 28
وَ اعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ أَنَّ
اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌعَظِيْمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” {Al-Anfaal (7) : 28}
Penafsiran
bedasarkan Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab
tafsir ibnu katsir menjelaskan bahwa
ayat ini adalah lanjutan penafsiran dari ayat sebelumnya yang menerangkan
tentang khianat kepada Allah dan rasul serta khianat kepada amanah. Asbabun
nuzul ayat ini berkenaan dengan Abu Lubabah bin Mundzir yang sadar telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul, maka dya bersumpah untuk tidak makan sampai
ia meninggal karena kelaparan atau Allah menerima taubatnya. Lalu Lubabah
mengikatkan dirinya pada tiang mesjid di madinah, lalu dia berdiam diri selama
sembilan hari, sehingga dya pingsan karena tertatih-tatih kelaparan. Allah
menurunkan ayat atas penerimaan taubatnya sehingga masyarakyat
berbondong-bondong datang kepadanya memberikan kabar gembira atas penerimaan
taubatnya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Yang
benar ayat ini bersifat umum, meskipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena
sebab khusus, namun yang terambil adalah keumuman lafadzh, bukan kekhususan
sebab, menurut jumhurul ulama. Khianat itu mencakup dosa kecil dan dosa besar,
yang berdampak pada diri seseorang, ataupun yang dampaknya terhdap orang lain.”[9]
Ayat ini bermaksud untuk
mengingatkan bahwa Allah memberikan harta dan anak kepada kita merupakan bagian
dari ujian dan cobaan yang telah allah berkan kepada kita sebagai mahluknya.
Allah ingin menguji kita dengan melihat apakah kita mensyukuri apa yang telah
Allah berikan kepada kita (anak dan harta), mempergunakannya (harta)
mendidiknya(anak) dengan benar berdasarkan perintahnya. Jika kita menjadikan anak
dan harta kita sebagai kesibukan dan penghalang yang menyebabkan kita jauh
darinya dan menjadikan penggantinya maka kita termasuk orang yang gagal
terhadap ujiannya.
Pahala yang
besar disini yang dimaksudkan adalah surga, surga akan kita dapatkan apabila
kita menjalani ujian yang diberikan oleh Allah dengan baik. Surga-surganya
lebih baik daripada harta karena kebanyakan dari harta dan anak akan menjadi
musuh tidak memberi apa-apa kepadamu sedangkan Allah adalah dzat yang mengatur
yang memiliki dunia dan akhirat. Dia memiliki pahala yang besar dihari kiamat.[10]
Bahkan cinta kita kepada Rasul harus lebih didahulukan daripada cinta kita
terhadap anak dan harta kita pernyataan ini sesuai dengan hadits nabi yang
berbunyi “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganya, tidak beriman seseorang
diantara kalian, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, keluarganya,
hartanya, dan manusia seluruhnya.(HR Al-Bukhori)”.
Penafsiran
bedasarkan Tafsir Jalalain
Dalam kitab
tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang anak dan harta
sebagai uian dari allah merupakan penghambat. Penghambat disini adalah sesuatu
yang menghambat kita dalam perkara-kara akhirat seperti ibadah. Ayat ini
memperingati kita untuk tidak berbuat khianat demi mereka hingga kita merelakan
pahala yang besar lewat begitu saja. Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan
tobatnya Abu Lubabah.[11]
4.
Harta dalam Hadits Rasulullah
“Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: jika
ada seseorang diantara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan
fisik, maka hendaklah dia melihat orang yang lebih rendah darinya daripada
melihat orang-orang yang diberi kelebihan (harta).”[12](HR.
Muslim)
Rasulullah tidak melarang ummatnya
untuk menjadi orang kaya dan Rasulullah pun tidak melarang ummatnya untuk
menjadi orang miskin. Rasulullah hanya mengatur bagaimana seharusnya sikap
orang-orang kaya agar tidak
menjadikannya sebagai manusia yang suka akan nikmatnya duniawi dan lupa
pada urusan ukhrawi. Tidak hanya orang kaya yang diatur sikapnya oleh Allah dan
Rasulullah dalam Al-Quran dan Hadits yang bersangkutan. Tetapi, bagaimana
seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta juga diatur oleh Rasulullah.
Hadits ini
berbicara bagaimana seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta terhadap
orang yang memiliki harta lebih. Rasulullah memerintahkan untuk melihat kepada
orang yang lebih rendah(harta atau fisik) dari pada mereka. Perintah ini
bertujuan agar kita selalu mensyukuri nikmat apa saja yang telah Allah berikan
kepada kita walaupun itu hanya sesuap nasi dan seteguk air. Jika, kita melihat
kepada orang yang lebih rendah daripada kita contohnya yang belum makan selama
tiga hari insyallah kita akan selalu mensyukurinya. Tapi, jka kita
melihat kepada yang lebih tinggi hartanya insyallah kita akan menjadi
kufur nimat dan akan di azab oleh Allah SWT.
5.
Pendekatan Harta dalam Ekonomi Islam
Islam
merupakan agama yang sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan Allah SWT
dalam ayat al-Qur’an yang diturunkan terakhir kali pada saat haji wada yaitu
surat al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-ucapkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Karena itu Islam mengatur seluruh rangkaian kehidupan dari semua aspek.
Dimulai dari aspek yang paling utama yaitu agama, kemudian sosial, politik, dan
juga ekonomi.
Dalam firman Allah
SWT tersebut dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik
yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu
aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai
agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep
ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam
menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur
dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.[13]
Ekonomi Islam
sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam
itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh
umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam
seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang
menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan
transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam mewujudkan
kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber dayanya di alam raya
ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. [14] Dan harta
termasuk ke dalam salah satu sumber daya itu.
Asas Kepemilikan Harta
Dalam ekonomi islam terdapat empat asas kepemilikan harta antara
lain, asas amanah, asas infiradiyah, asas ijtima’iyah, dan manfaat. Berikut
ini penjelasan dari keempat asas tersebut[15]
:
a)
Asas amanah
Dalam asas ini disebutkan
bahwa kepemilikan harta bukan mutlak milik manusia, kepemilikan harta secara
mutlak adalah milik Allah. Sedangkan harta yang dimiliki manusia hanya berupa
titipan dari allah yang sewaktu-watu dapat diambil oleh allah. Harta yang
dimiliki manusia bersifat nisbih. Maka dari itu Dalam memanfaatkan harta
haruslah menurut pada syariat allah. Allah menyerahkan harta kekayaan kepada
manusia untuk diatur dan dinafkahkan. Manusia memiliki hak untuk
mengeksploitasi harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan sesamanya. Allah juga
menuntut kepada manusia agar tidak boros dan kikir dalam memanfaatkan hartanya.
Cara dalam memperoleh harta harus menurut syariat yaitu dengan cara yang halal
dan berkualitas
b)
Asas infiradiyah
Kepemilikan
harta oleh individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat/barang
atau manfaat (jasa) tertentu, ketetapan hukum tersebut memungkinkan siapa saja
yang untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari
barang tersebut bilamana barang tersebut diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli. Oleh karena itu setiap orang
bisa memiliki kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.
Menurut
an-Nabhani ada beberapa sebab-sebab kepemilikan harta berdasarkan hukum-hukum
syara antara lain :
1.
Bekerja
2.
Warisan
3.
Kebutuhan hidup
4.
Harta pemberian
5.
Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan
harta dan tenaga apapun
Pada dasarnya kepemilikan harta bersifat individual
dan dapat disatukan dalam bentuk badan usaha seperti koperasi. Allah
menghalalkan manusia untuk mencari sebanyak-banyaknya rizki di muka bumi ini. Islam meng-iktiraf kepemilikan harta secara
individu. Pada masa yang sama Islam mensyaratkan pemilik harta supaya menjaga
dan memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keselamatan harta serta
melarang memperoleh harta secara haram.
Pemilikan harta
individu yang tidak terkawal dan terarah boleh mendatangkan gangguan terhadap
orang lain dan kebajikan umum. Demi kesejahteraan dan keharmonisan hidup
masyarakat, Islam telah menentukan cara-cara pemilikan harta. Asas ini berbeda dengan asas kepemilikan menurut kapitalis konvensional,
yang memberikan kepada pemilik modal seluas-luasnya mengembakan kepemilikannya
dengan mengabaikan hak-hak sosial.
c)
Asas ijtima’iyah
Menurut hukum Islam dalam hak individu terdapat hak
masyarakat. Hak masyarakat tidak akan menghapus hak individu,
selama hak masyarakat itu digunakan untuk kepentingan bersama
(umum). Harta dapat
dimiliki baik secara individu maupun secara kelompok, dan memiliki fungsi memnuhi kebutuhan hidup
pemilik, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terhadap hak masyarakat. hak
masyarakat dalam kepemilikan individu diasarkan pada kepekaan sosial individu. Kepekaan sosial ini terlihat dalam kewajiban
individu untuk memenuhi kewajiban
ibdah zakat, infak dan sedakah serta kewajiban sosial untuk kesejahteraan umum
dalam bentuk pewakafan.
Hak-hak sosial yang terdapat dalam kepemilikan harta
individu menjadi suatu keharusan individu untuk memenuhinya.
Pemenuhan hak-hak sosial itu untuk
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
Betapa banyak para aghniyah mengabaikan
asas ini, tidak ada sentifitas dan kepekaan sosial untuk
membelanjakan kepemilikan harta mereka untuk kesejahteraan hidup masyarakat. Tidak atau kurang adanya kesadaran akan pertambahan nilai dari pemenuhan
hak-hak sosial itu. Padahal Islam memberi sinyal bahwa memenuhi satu hak-hak sosial Allah akan menambahkkan tujuh puluh nilai kepemilikan harta.
d)
Asas Manfaat
Dari pendekatan filosis pemanfaatan kepemilikan harta pada asasnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat. Memanfaatkan
harta untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi kewajiban primer,
sedangkan kepentingan sosial kemasyarakatan menjadi kewajiban sekunder. Tetapai
pada keadaan tertentu kewajiban sekunder akan menjadi kewajiban primer.
Asas
manfaat dalam kepemilikan harta menempatkan pemenuhan kebutuhan pribadi dan
keluarga menjadi prioritas, betapa banyak sinyal-sinyal al-Qur’an dan Sunnah
Rasul yang menunjukkan itu. “Jagalah dirimu dan
keluargamu dari siksaan api neraka. Nafkahilah kerabat-kerabatmu, kaum fakir
dan miskin”. Sinyal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan harta itu diutamakan untuk
menikatkan kesejahteraan keluarga sebagai pondasi utama, jika telah terpenuhi
kebutuhan kerabat, baru pemanfaatan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan orang
fakir dan orang miskin.
C.
Kesimpulan
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang
mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan
yang bersifat spritual. Dan ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari
kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan
komprehensif oleh umatnya. Dalam
mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di
alam raya ini. Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan
harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta.
Harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi
maupun dalam manfaat. Harta merupakan suatu kesenangan yang diberikan Allah
kepada manusia sebagaimana yang tertera dalam surat Ali Imran ayat 14. Selain
itu harta juga merupakan suatu ujian untuk menguji apakah manusia yang
diberikan harta itu dapat bersyukur atau malah menjadi kufur. Hal ini tertera
dalam hadits Rasulullah SAW di atas dan juga surat Al-Anfal ayat 28. Kemudian
dalam hadits berikutnya Rasulullah SAW memerintahkan jika manusia diberi harta
hendaknya ia tidak sombong dan terus melihat ke atas, namun yang harus ia
lakukan adalah melihat ke bawah, kepada orang-orang yang justru lebih sedikit
diberi harta supaya kita dapat mensyukuri harta yang dititipkan Allah tersebut.
Berkaitan dengan harta dalam
pendekatan ekonomi Islam, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melarang seorang
Muslim memiliki harta. Selain karena harta dapat menjadi salah satu sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, harta juga dapat digunakan untuk kemaslahatan
ummat dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Lalu Islam mengatur kepemilikan
harta yang dibagi dalam empat asas : asas amanah, asas infiradiyah, asas ijtima’iyah, dan asas manfaat.
Keempat asas ini sebagai pedoman bagi setiap muslim yang memiliki harta
sehingga ia tidak mengambil hak yang bukan miliknya.
D.
Referensi
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2010
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam
Syafi’i, 2004
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati,
2009
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2002
Suyuthi,
Jalalludin As- dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, Bogor: Pustaka
Imam Syafi’i, 2001
[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), 2002.
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2009, hlm. 25
[3] Ibid., hlm.
26
[4] Ibid., hlm. 27
[5] Ibid., hlm.
28
[6] Ibid., hlm.
29
[7] “ Menghindari
dari Fitnah Harta dan Anak”, http://www.asysyariah.com/menghindari-dari-fitnah-harta-dan-anak/ Diakses tanggal 12 September
2014, pukul 12.16
[8] “ Ketahuilah, harta
itu ujian”, http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/06/19/19560/ketahuilah-harta-itu-ujian/#sthash.reJKsGMz.dpbs Diakses
tanggal 13 September 2014, pukul 08.50
[9] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i), 2004, hlm. 30
[10] Ibid,
hlm. 31
[11] Jalalludin
As-Suyuthi dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, (Bogor: pustaka
imam syafi’i), 2001, hlm. 108
[12] Muhammad Fuad
Abdul Baqi, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah), 2010, hlm. 803
[13]
“Harta dalam perspektif Islam”, www.wardahcheche.blogspot.com/2014/01/harta-dalam-perspektif-islam.html?m=1 Diakses tanggal 09 September 2014
pukul 03.46
[14] Ibid.
[15] Ibid.
Disusun oleh Neneng Ela Fauziyah
Ustadzah di Madin Diponegoro Yogyakarta
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
EKONOMI MASA KHULAFAUR RASYIDIN
I. Pendahuluan
Madinah merupakan kota yang dituju Rasulullah SAW untuk berhijrah
pada saat Mekkah bertambah sulit untuk dijadikan tempat berdakwah. Kondisi
nyata saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah yaitu di sana setiap saat dihiasi
dengan perang antar suku terutama suku Auz dan Khazraj yang memperebutkan
kekuasaan. Hal ini karena kota Madinah sendiri belum mempunyai pemimpin yang
berdaulat secara penuh. Rasulullah SAW kemudian memikirkan cara yang paling
efektif untuk membangun kota Madinah ini.[1]
Banyak langkah yang sudah dilakukan Rasulullah SAW untuk mengubah
keadaan Madinah hingga beliau wafat di sana. Rasulullah SAW meninggalkan
umatnya dengan sistem pemerintahan Madinah yang sudah terbentuk dan berjalan
dengan baik. Berbicara tentang pemerintahan ini tidak akan pernah lepas
kaitannya dengan perekonomian. Beliau telah mewariskan sistem ekonomi yang
berakar kuat dari prinsip-prinsip Qur’ani dengan melakukan kebijakan-kebijakan
untuk mengembangkan ekonomi di kota Madinah.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, pemerintahan diteruskan oleh
Khulafaur Rasyidin yaitu khalifah-khalifah yang diberi petunjuk dan dipilih
sebagai kepala Negara dan pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin umat Islam.
Sahabat Rasulullah SAW yang menjadi Khulafaur Rasyidin ada empat orang, yaitu
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Masa
Khulafaur Rasyidin yang lamanya tidak lebih dari tiga puluh tahun, dimulai
sejak tahun 11-41 H/632-661 M. Keempat khalifah ini meneruskan perjuangan Rasulullah SAW dengan
cara dan gaya yang berbeda-beda. Mengenai kebijakan di bidang ekonominya pun,
keempat khalifah ini memiliki langkah yang berbeda pula. Pada masa Khulafaur
Rasyidin ini, sistem ekonomi yang telah terbentuk berkembang lebih jauh dan
menemukan bentuk yang ideal.[2]
Tidak sekedar teori, namun sudah berimplikasi besar terhadap pengembangan
Islam.
Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas mengenai bagaimana para
Khulafaur Rasyidin menerapkan sistem ekonomin dalam masa pemerintahan
masing-masing yaitu sistem ekonomi masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Tujuannya supaya para pembaca dapat
mengidentifikasi apa saja hal yang menjadikan sistem ekonomi pada masa ini dapat
berkembang begitu pesat. Selain itu, dapat pula menjadi salah satu acuan untuk
mengembangkan sistem ekonomi pada masa sekarang.
II.
Pembahasan
A.
Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
1)
Biografi
‘Abdillah Bin ‘Utsman Abi Quhafah adalah nama sahabat nabi yang
lebih masyhur dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Gelar Ash-Shiddiq ini
didapatnya dari Rasul karena sifat kejujurannya dalam mengatakan hal yang
benar. Abu Bakar bin Abu Quhafah adalah keturunan seorang bangsawan yang di
masa mudanya sangat masyhur karena kebaikan budinya. Sahabat yang sangat baik
hati sekaligus sebagai bapak mertua Rasulullah, sangat besar jiwa
kemanusiannya. Sahabat yang tidak akan
rela melihat orang lain menderita, dan rakyat yang tertindas. Karena saking
baiknya, dan ketidakrelaan melihat orang tertindas, terutama orang muslim. Abu
Bakar sering kali memerdekaan budak, salah satunya Bilal bin Rabah, yang
akhirnya menjadi muadzin Islam yang mengumandangkan adzan setiap waktu shalat
tiba. Sebagai sahabat pertama nabi yang masuk Islam sangat besar pengorbanannya
terhadap Islam, mengabdikan seluruh jiwa
raganya untuk agama.
Setelah Rasulullah wafat sahabat Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah, tepatnya pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-11 Hijriyah. Diangkatnya Abu
Bakar menjadi khalifah adalah hasil musyawarah para sahabat. Pada masa
ke-khalifahannya Abu Bakar sangat bertanggung jawab dalam memegang amanah
negara dan sangat bijaksana dalam memutuskan segala sesuatu. Dan juga mempunyai
kelihaian dalam mengembangkan ajaran Islam. Pada saat Rasulullah wafat,
perkembangan Islam masih terbatas pada Jazirah Arab saja. Namun, setelah Abu
Bakar memegang kekuasan melanjutkan perjuangan beliau, daerah pengembangan
Islam menjadi sangat luas sekali.
Pada tanggal 7 Jumadil Akhir, Abu Bakar jatuh sakit selama 2
minggu. Meskipun kondisinya sedang sakit, beliau masih tetap memikirkan masa
depan negara dan selalu khawatir akan terjadi kericuhan apabila dirinya di
panggil oleh sang Maha Kuasa. Namun takdir Allah SWT berkata lain. Meskipun
upaya-upaya untuk menyembuhkan dirinya sudah dilakukan, tetap tidak bisa
merubah kehendak Allah SWT. Tepatnya pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun ke-13
Hijriyah beliau dipanggil oleh Allah SWT pada usia 63 tahun setelah selama 2
tahun memegang amanah negara dengan penuh tanggung jawab dan bijaksana.
2)
Praktek Ekonomi pada Masa Pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Setelah
Rasulullah wafat, Abu Bakar yang terpilih menjadi khalifah pertama Islam
sekaligus sebagai penerus perjuangan Rasulullah dalam menyiarkan ajaran Islam.
Ia merupakan kepala negara dan juga pemimpin kaum muslimin. Pada masa
pemerintahannya yang berlangsung selama 2 tahun. Abu Bakar banyak menghadapi
persoalan dalam negeri seperti kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang
zakat. Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar melakukan
ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang
selalu mengancam kedudukan Islam.
Abu Bakar
adalah seorang saudagar yang kaya raya pada masanya. Beliau memiliki argumen
yang berkaitan dengan harga. Disebutkan bahwa “jumlah barang menentukan harga
barang, dikala persedian barang maka harga akan cenderung turun, begitu juga
sebaliknya”.[3]
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Abu Bakar melakukan
berbagai kebijakan seperti yang dilakukan Rasulullah. Abu Bakar Ash-Shiddiq
melakukan kebijakan pembagian tanah taklukan, sebagian untuk umat muslim dan sebagian
lagi tetap menjadi tanggungan negara. Di samping itu, beliau mengambil alih
tanah dari orang murtad kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam secara
keseluruhan.[4]
Abu Bakar juga sangat
memperhatikan keakuratan penghitungan zakat, sehingga tidak terjadi kekurangan
mau pun kelebihan dalam pembayarannya.[5] Hasil
dari semua pengumpulan tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara, dan
disimpan di Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum
muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Dalam
Pendistribusian harta Baitul Mal diterapkan dengan prinsip kesamarataan,
memberikan jumlah yang sama terhadap para sahabat, tanpa memperdulikan sahabat
mana yang lebih dulu masuk Islam, antara hamba dan orang merdeka, pria maupun
wanita. Menurutnya, dalam keutamaan beriman, Allah SWT yang akan memberikan
ganjarannya. Namun dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik
daripada prinsip keutamaan.[6]
Dengan
demikian, pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Baitul Mal tidak
pernah menumpuk pada kurun waktu yang lama, karena langsung didistribusikan
secara menyeluruh kepada kaum muslimin. Bahkan, ketika Abu Bakar wafat hanya
ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara. Apabila terjadi peningkatan
dalam pendapatan negara, maka semua kaum muslimin mendapatkan manfaat yang sama
dan tidak ada yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi
pada peningkatan agregate demand dan agregate supply yang pada
akhirnya akan menaikan total pendapatan nasional, juga memperkecil jurang
pemisah antara orang-orang yang kaya dan yang miskin.[7]
B.
Umar bin Khattab (13-23
H/634-644 M)
Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Nama lengkapnya Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza
Al-Quraisy, biasa dipanggil Abu Hafsh (anak singa) dan digelari Al-Faruq
(pemisah antara yang hak dan batil). Ia adalah seorang yang cerdas, petarung
yang tangguh, pandai menulis dan membaca, dan ia selalu diutus untuk mewakili
sukunya, dan menjadi kebanggaan kaum Quraisy.[8] Sebelum
masuk Islam, ia adalah orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam. Ia
masuk Islam setelah mendengar saudaranya (Fatimah binti Khattab) membaca
ayat-ayat Al-Qur’an, padahal waktu itu Umar hendak membunuhnya karena mengikuti
ajaran Nabi.[9]
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 10 tahun, ia
berhasil menaklukkan wilayah Syam, Irak, Persia, Mesir, Burqah, Azerbaijan, dan
Jurjan. Selain itu, ia berhasil mencetak mata uang Dirham dengan cap Alhamdulillah
pada satu sisi dan La ilaha
illa Allah Muhammad Rasulullah di sisi lainnya. Umar juga merupakan seorang
pemimpin yang sangat memperhatikan rakyatnya dan terkenal tegas kepada
pembantunya. Untuk itu, ia mengaudit kekayaan para pejabat dan pegawai negara
dan menyusun sebuah undang-undang “Min Aina Laka Hadza?”.[10]
Umar bin Khattab dipandang banyak melakukan inovasi mengenai
permasalahan perekonomian, hal ini dapat dilihat dari beberapa pemikiran serta
gagasannya yang mampu membuat Islam berkembang pada masanya. Dengan perluasan
wilayah daerah kekuasaan yang terjadi begitu cepat, maka Umar pun dengan segera
memberlakukan administrasi negara dan juga membentuk jawatan kepolisian dan
jawatan tenaga kerja.[11]
Selain hal tersebut, Umar juga mengambil langkah-langkah penting
dalam bidang pertanian seperti ia menghadiahkan tanah pertanian kepada
masyarakatnya dengan syarat mampu menggarapnya, serta membangun lembaga yang
khusus untuk mendukung programnya tersebut. Selanjutnya dalam bidang
perdagangan Umar juga menyempurnakan hukum perdagangan yang mengatur tentang
pajak dan mendirikan pasar-pasar dengan tujuan untuk menggerakkan roda
perekonomian rakyat. Umar juga menjadikan Baitul Mal yang memang sudah ada
sejak pemerintahan Abu Bakar menjadi reguler dan permanen. Namun dalam mendistribusikan
harta Baitul Mal, Umar menerapkan prinsip keutamaan. Hal ini dilatarbelakangi
karena semakin meluasnya pemerintahan Islam pada masa Umar dan juga ditandai
dengan pendapatan negara yang mengalami peningkatan yang sangat signifikan.[12]
Selain itu, Khalifah Umar juga mendirikan dewan yang bertugas
memberikan tunjangan bagi angkatan perang, pensiunan, dan tunjangan lainnya. Di
sisi lain, Umar juga mendirikan lembaga survey yang dikenal sebagai Nassab yang
bertugas melakukan sensus terhadap penduduk Madinah, menjadikan pajak dalam
beberapa tingkatan sesuai kemampuan ekonomi rakyatnya, mengambil zakat seorang
budak atau seekor kuda, memperkenalkan sistem jaga malam dan patroli, serta
memberlakukan mekanisme gaji kepada para anggota Militer yang dinamakan
Al-Diwan.[13]
C.
Ustman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Utsman bin Affan lahir pada 574 Masehi
dari golongan Bani Umayyah. Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah.
Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan Assabiqunal
Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah SAW sendiri
menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah
hati diantara kaum muslimin.[14]
Utsman bin Affan adalah sahabat nabi
dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. Beliau dikenal sebagai
pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan
ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat
julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat
karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu
Ruqayah dan Ummu Kaltsum.[15]
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun,
Khalifah Utsman bin Affan berhasil memperluas kekuasan Islam sampai ke wilayah
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania, serta Tabaristan. Selain itu juga, beliau berhasil menumpas
pemberontakan yang terjadi di daerah Khurasan dan Iskandariah. Beliau merupakan
khalifah yang kaya. Pada Perang Tabuk (Perang besar) beliau menyumbangkan 100
ekor unta agar tentara perang muslim tidak lelah karena jaraknya yang jauh.[16]
Pada enam tahun masa pemerintahannya, Usman banyak mengikuti
kebijakan ekonomi Umar bin Khattab yang lebih terfokus melakukan penataan baru
dengan mengikuti kebijakan khalifah sebelumnya. Hal ini paling tidak didasari
atas semakin luasnya kekuasaan Islam, dengan kata lain bahwa sumber pemasukan
negara dari berbagai unsur seperti zakat, jizyah dan ghonimah semakin besar.
Dalam mengembangkan SDA, Ustman melakukan pembuatan saluran air, pembangunan
jalan, serta pembentukan organisasi kepolisian secara permanent guna
mengamankan jalur perdagangan. Selain itu, Ustman juga memperkenalkan tradisi
mendistribusikan makanan di masjid untuk fakir miskin dan musafir. Selama
pemerintahannya, Ustman juga melakukan perubahan administrasi tingkat atas dan
mengganti beberapa gubernur, dalam pengelolaan tanah negara Ustman menerapkan
kebijakan membagi-bagikan tanah tersebut kepada penduduh dengan tujuan
reklamasi. Ustman menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya yang dilakukan
oleh Umar.
Memasuki enam tahun kedua pemerintahannya, tidak terdapat perubahan
mendasar dalam bidang perekonomian, hal ini lebih disebabkan karena mulai
banyak kekecewaan kaum muslimin yang ditimbulkan oleh kebijakan Ustman sendiri
yang di anggap banyak menguntungkan keluarga khalifah, akibatnya pada masa
pemerintahannya lebih banyak timbul kekacauan politik yang berakhir dengan
terbunuhnya khalifah Usman.
D.
Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
1)
Biografi
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin
Abdil Muththalib bin Abdi Manaf bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin
Kinanah. Abul Hasan dan Husein ini digelari Abu Turab. Beliau keponakan sekaligus
menantu Rasulullah SAW dari puteri Rasul Fathimah az-Zahra’. Ibu beliau bernama
Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari
Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan seorang putera Bani Hasyim. Beliau memiliki beberapa orang saudara laki-laki;
Thalib, Aqiel dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari
beliau, masing-masing terpaut sepuluh tahun. Beliau memiliki dua orang saudara
perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah. Keduanya adalah puteri Fathimah binti Asad,
ia telah masuk Islam dan turut berhijrah. Ayah beliau bernama Abu Thalib. Dia
adalah paman kandung yang sangat menyayangi Rasulullah SAW. Demikianlah yang disebutkan oleh Imam
Ahmad dan ulama-ulama ahli nasab dan sejarah.[17]
Setelah terbunuhnya Usman, maka timbul anarkhi di
Ibu Kota Negara dan pada hari kelima. Ali dengan suara bulatnya terpilih
menjadi khalifah menggantikan Usman. Setelah menjadi Khalifah, Ali bin Abi
Thalib menempatkan kembali kondisi Baitul Mal pada posisi sebelumnya. Beliau
juga membuat kebijakan antara lain[18]
:
a.
Memecat
beberapa pejabat yang diangkat Usman
yang dianggapnya tidak kompeten.
b.
Mengambil
tanah yang dibagikan Usman kepada keluarganya tanpa alasan yang benar.
c.
Memberikan bantuan kepada kaum muslimin berupa tunjangan yang diambil dari Baitul
Mal.
d.
Mengatur kembali tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan
umat serta memindah pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah.
Kebijakan yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib
ini telah menyerang orang-orang yang telah memperkaya dirinya semasa
pemerintahan yang lama. Beberapa orang-orang Utsman rela menyerahkan
jabatannya tanpa melakukan perlawanan. Sementara yang lainnya menolak. Di antara yang
menolak adalah Muawiyah, Gubernur Syiria yang kemudian bersama sekutu-sekutunya
menuntut pembalasan atas kematian Utsman.
Ali berkuasa selama 5 tahun. Sejak awal dia selalu
mendapatkan perlawanan dari kelompok yang bermusuhan dengannya, pemberontakan
kaum khawarij dan peperangan berkepanjangan dengan Muawiyah yang
memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang independen di daerah Syiria dan
kemudian Mesir.
2)
Pemikiran
Ekonomi Ali Bin Abi Thalib[19]
Di samping pemerintahan Ali masih ada beberapa ketidakjelasan
permasalahan yang dilakukan oleh Ali dalam membebankan khums atas ikan
atau hasil hutan. Menurut Baladhuri, Ali membebankan para pemilik hutan (Ajmat)
4.000 dirham. Dia menulis kepada merek sebuah pernyataan yang ditulis di atas sehelai perkamen.
Hutan-hutan ini terhampar di daerah istana Raja Namruj di Babilonia. Di hutan ini,
terdapat ngarai yang dalam, yang menurut beberapa orang tanah untuk batu-batu
istana di buat dan menurut yang lainnya itu adalah tanah longsor.
Ibnu Abbas, Gubernur Ali di Kuffah, memungut zakat atas sayuran yang
tidak membusuk yang digunakan sebagai bumbu. Seperti sudah dinyatakan
sebelumnya, Ali tidak hadir pada pertemuan Majelis Syuro di Djabiya (masuk
wilayah Madinah) yang diadakan oleh Umar untuk menyepakati peraturan-peraturan yang sangat penting yang berkaitan dengan daerah
taklukkan. Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh
pendapatan Baitul Mal, tetapi menyimpan sebagian untuk cadangan. Semua
kesepakan itu berlawanan dengan pendataan Ali. Oleh karena itu, ketika menjabat sebagai
khalifah, dia mendistribusikan seluruh pendapatan dan provinsi yang ada di
Baitul Maal Madinah, Busra dan Kuffah.
Prinsip utama dari pemerataan distribusi
uang rakyat diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama
kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari
sabtu itu semua perhitungan diselesaikan dan dimulai perhitungan baru.
Kurang atau lebih alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana
halnya pada masa kepemimpinan Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang
ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan Utsman hampir dihilangkan seluruhnya, karena daerah sepanjang garis pantai
Syiria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah. Tetapi dengan
adanya penjaga malam dan patrol (diciptakan oleh Umar), khalifah keempat tetap
menyediakan polisi regular yang terorganisasi yang disebut Shurta, dan
pemimpinnya diberi gelar Sahibush-Surta.
Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, admisnistrasi
umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep
ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditunjukkan kepada Malik
Ashter bin Harith. Surat itu antara alain mendeskripsikan tugas kewajiban dan
tanggung jawab penguasa, menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi terhadap
keadilan, kontrol atas pejabat petinggi staf, menjelaskan kebaikan dan kekurangan
jaksa, hakim, abdi hukum, penguraikan pendapatan pegawai administrasi ddan pengadaaan
bendahara. Surat ini menjelaskan bagaimana berurusan dengan sipil, pengadilan
dan angkatan perang. Ali menekankan Malik agar lebih memperhatikan
kesejahteraan para prajurit dan keluarga mereka dan diharapkan berhubungan langsung dengan
masyarakat melalui pertemuan yang terbuka, terutama dengan orang-orang yang
miskin, orang yang teraniaya dan orang-orang yang cacat. Di surat ini juga
ada instruksi untuk melawan koupsi dan penindasan, mengontrol pasar dan
memberantas para tukang catut, penimbunan barang, dan pasar gelap.
Jadi selama pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dalam kepemimpinanya melakukan kebijakan antara lain :
a)
Pendistribusian
seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal berbeda dengan Umar yang
menyisihkan untuk cadangan
b)
Pengeluaran
angkatan laut dihilangkan
c)
Adanya
kebijakan pengetatan anggaran
d)
Dan hal yang sangat monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas
nama pemerintahan Islam, di mana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang
dinar dari Romawi dan dirham dari Persia
Pemerintahan Ali berakhir dengan terbunuhnya
beliau di tangan Ibnu Muljam dari kelompok khawarij. Jenazahnya
dimandikan kedua putranya Hasan dan Husein, kemudian dimakamkan di Kuffah. Tetapi, Ibnu Asir
menyatakan bahwa ia dikuburkan di Neft. Ali meninggal pada usia 63 tahun
setelah memerintah selam 5 tahun 3 bulan.
III.
Kesimpulan
Sistem ekonomi suatu negara merupakan hal yang
sangat penting untuk diperhatikan, terutama oleh para pemimpinnya. Karena
ekonomi merupakan pangkal utama berjalannya suatu negara. Demikian juga pada
masa Khulafaur Rasyidin, sistem ekonomi sangat diperhatikan.
Pada masa Abu Bakar kebijakanyang dilakukan adalah seperti
yang dilakukan Rasulullah. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan kebijakan pembagian
tanah taklukan, sebagian untuk umat muslim dan sebagian lagi tetap menjadi
tanggungan negara. Selain itu, beliau mengambil
alih tanah dari orang murtad kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam
secara keseluruhan. Beliau juga sangat
memperhatikan keakuratan penghitungan zakat dan memperhatikan
pendistribusiannya dengan cermat sehingga dapat sampai pada masyarakat secara
menyeluruh dan sama rata.
Kemudian masa Umar bin Khatab, kebijakan yang
dilakukannya adalah mencetak mata uang Dirham dengan cap Alhamdulillah pada
satu sisi dan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah di sisi
lainnya. Selain itu, beliau melakukan audit kekayaan para pejabat dan pegawai negara
dan menyusun sebuah undang-undang “Min Aina Laka Hadza?”. Umar juga mengambil langkah-langkah penting dalam bidang
pertanian dan menjadikan
Baitul Mal yang memang sudah ada sejak pemerintahan Abu Bakar menjadi reguler
dan permanen. Namun cara
pendistribusiannya dengan mengutamakan prinsip keutamaan. Juga langkah-langkah
lain di bidang ekonomi yang menyebabkan pemerintahannya berjalan dengan sangat
baik.
Utsman bin Affan mengikuti kebijakan
ekonomi Umar bin Khattab yang lebih terfokus melakukan penataan baru dengan
mengikuti kebijakan khalifah sebelumnya. Dalam pemberdayaan SDA, Ustman
melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan, serta pembentukan organisasi
kepolisian secara permanen guna mengamankan jalur perdagangan. Beliau juga memperkenalkan
tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk fakir miskin dan musafir
melakukan perubahan administrasi tingkat atas serta mengganti
beberapa gubernur. Dalam pengelolaan tanah negara Ustman menerapkan
kebijakan membagi-bagikan tanah tersebut kepada penduduk dengan tujuan reklamasi.
Khalifah terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Beliau
melakukan kebijakan-kebijakan di antaranya :
a)
Pendistribusian
seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal berbeda dengan Umar yang
menyisihkan untuk cadangan
b)
Pengeluaran
angkatan laut dihilangkan
c)
Adanya
kebijakan pengetatan anggaran
d)
Pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, di mana
sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham
dari Persia
Dari sejarah tentang sistem perekonomian masa
Khulafaur Rasyidin ini, diharapkan kita tidak lupa terhadap sejarah dan dapat
menjadi salah satu acuan untuk pengembangan ekonomi sekarang.
IV.
Referensi
Azwar Karim,
Adiwarman. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Afzalurrahman, 1995. Doktrin Ekonomi Islam.
Yogyakarta: PT.Dhana Bhakti Wakaf. Jilid 2.
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mursi, Muhammad Sa’id. 2007. Tokoh-tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Oktavia, Evi. 2009. “Ekonomi Syariah Sebagai Sistem Ekonomi”.
Jurnal. Jurnal Bisnis, Manajemen dan Ekonomi Universitas Widyatama. Vol. 9.
Hadi, Nurfitri, “Keutamaan Utsman bin Affan”,
Diakses
30 September 2014.
Muhlisin, “Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin. http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-khulafaur-raosyidin. Diakses 30 september 2014
Fatah,
Abdul. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, https://prasastihati.files.wordpress.com/2008/12/mkl-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam. Diakses 30 September 2014
[1]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 24
[2]
Evi Oktavia, “Ekonomi Syariah Sebagai Sistem Ekonomi”, Jurnal Bisnis,
Manajemen dan Ekonomi Universitas Widyatama, Vol. 9, 2009, hlm. 2086
[3]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2012).
[4]
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti
wakaf, 1995), Jilid 2, hlm. 320
[5]
M.A. Swabswari, Sistem Ekonomi Dan Fiskal Pada Masa Al-Khulafa Al-Rasyidun,
(Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2001), Cet.
Ke-1, hlm. 44
[6]
Afzalurrahman, Op.Cit,. jilid 1, hlm. 163
[7]
Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., Op.Cit,. hlm. 57
[8]
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 10
[9]
“Islam pada Masa Khulafaur Rassyidin” http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-khulafaur-raosyidin.pdf,
Diakses 30 september 2014, pukul 12.16, hlm. 9
[10]
Muhammad Sa’id Mursi, op.cit., hlm.
13
[11]
“Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, https://prasastihati.files.wordpress.com/2008/12/mkl-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.pdf,
Diakses 30 September 2014, pukul 12.19, hlm. 5
[12]
Ibid., hlm. 5
[13]
Ibid., hlm. 6
[14]
“Keutamaan Utsman bin Affan”, http://kisahmuslim.com/keutamaan-utsman-bin-affan/ Diakses
tanggal 30 September 2014, pukul 12.36.
[15]
Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...., Op.Cit,. hlm. 78
[16]
Ibid., hlm. 79
[17] Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
[18]
Ibid.
[19]
Ibid.
Disusun oleh :
Ahmad Muchassin
Beni Munthe
Fahmi Shiddiqi
Muhammad Hadyan Faris
Neneng Ela Fauziyyah
JURUSAN EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
Disusun oleh :
Ahmad Muchassin
Beni Munthe
Fahmi Shiddiqi
Muhammad Hadyan Faris
Neneng Ela Fauziyyah
JURUSAN EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
Langganan:
Postingan (Atom)