Selasa, 24 Februari 2015

TAFSIR HARTA

A.  Latar Belakang
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spritual. Dalam firman Allah SWT dijelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami bahwa sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta. Mengenai hal tersebut maka dalam makalah ini akan membahas mengenai konsep harta dalam ekonomi Islam di mana di dalamnya terdapat ayat dan hadits tentang harta dan pendekatan harta dalam ekonomi Islam.

B.       Pembahasan
Dari segi pengertian, harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berasal dari kata maala-yamiilu-maylan yang berarti condong, cenderung, dan miring. Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Menurut para fuqaha harta terdiri dari dua unsur, yaitu unsur 'aniyah dan unsur 'urf. Unsur 'aniyah ialah harta yang ada wujudnya dalam kenyataan (a'yan) sedangkan unsur 'urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia.[1]
Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir berbagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dzalim dan berlebihan.

1.      Harta Menurut Surat Ali Imran Ayat 14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ القَنَاطِيْرِ المُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَ الفِضَّةِ وَ الخَيْلِ المُسَوَّمَةِ وَ الاَنْعَامِ وَ الحَرْثِ ۗ ذَالِكَ مَتَاعُ الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ المَآبِ (ال عمران : ١٤ )
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas, perak, kuda pilihan, hewab ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” {Ali Imran (3) : 14}

Penafsiran berdasarkan Tafsir Al-Misbah
Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraisy Syihab menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan ada hal-hal yang menghalangi seseorang dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Ayat ini tidak menjelaskan siapa yang menjadikan indah hal-hal yang disebut oleh ayat ini, namun hanya membahas apa yang dijadikan indah itu.
 Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat yaitu aneka keinginan. Yang diperindah adalah kecintaan kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi, material. Dan yang ditekankan untuk dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang akan disebutkannya. Bisa jadi ada dari yang disebutkan itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau tidak terbendung. Tetapi kalau ia sudah dicintai maka akan sulit atau tidak terbendung. [2]
Hal-hal yang dicintai itu adalah keinginan terhadap wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang melimpah dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang.
Saat ayat ini hanya menyebutkan wanita saja, tidak menyebutkan laki-laki, dan menyebutkan anak laki-laki saja, sedangkan tidak menyebutkan anak perempuan bukan berarti yang dicintai oleh manusia hanya wanita-wanita saja atau anak laki-laki saja. Ada dua jawaban yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab[3] :
Pertama, ayat ini tidak menyebutkan secara eksplisit syahwat wanita terhadap laki-laki untuk menjaga kehalusan perasaan wanita. Kemudian tidak menyebutkan anak-anak perempuan, karena kondisi Arab waktu itu sangat mendambakan anak-anak laki-laki tetapi tidak menyambut baik hadirnya anak perempuan.
Kedua, berkaitan dengan gaya bahasa al-Qur’an yang cenderung mempersingkat uraian. Ayat ini tidak menyebutkan anak perempuan dalam redaksinya karena sudah menyebutkan wanita sebagai wakil yang menjadi salah satu yang dicintai oleh manusia. Demikian juga tidak menyebutkan lelaki sebagai yang dicintai karena sudah ada redaksi anak laki-laki.
Selain kecintaan manusia kepada hal-hal yang telah disebutkan di atas, manusia juga mencintai kepada harta yang tidak terbilang dan berlipat ganda.
Pertama adalah lafadz   ( القناطير ) al-qanathir yaitu lafadz jamak dari ( قنطار) qinthar. Pemahaman mengenai kata ini berbeda-beda. Ada yang mengartikannya dalam bilangan tertentu seperti 100 kg, atau uang dengan jumlah tertentu, dan ada juga yang tidak menyebutkan bilangan jumlah. Qinthar menurut pendapat kedua ini adalah timbangan tanpa batas. Ia merupakan sejumlah harta yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup, dan membelanjakannya guna meraih kenyamanan bagi dirinya dan keluarganya. Kata (مقنطرة) muqantharah adalah pelipatgandaan dari ( القناطير) al-qanathir.[4]
Dengan memperhatikan redaksi dua kata dalam ayat di atas, jelas bahwa manusia sangat mencintai harta. Bukan hanya satu qinthar yakni jumlah yang tidak terbatas dan saat mencukupinya meraih kenyamanan, tetapi juga qanathir, yakni jamak dari qinthar. Bukan saja harta yang banyak, tetapi manusia juga mencintai harta yang berlipat ganda. Inilah sifat manusia yang mencintai harta dalam bentuk emas, perak dan sebagainya.
Selain itu, ada juga kuda pilihan. Kata “pilihan” di sini mengandung banyak arti di antaranya adalah tempat penggembalaan yaitu kuda dapat makan dengan bebas, bukan diikat dan disediakan makan untuknya. Ada juga diartikan “yang bertanda” yaitu ada tanda-tanda khusus yang berbeda dengan kuda yang lain. Atau bermakna “terlatih dan jinak”. Meskipun banyak arti dari kata di atas, namun tetap berarti bahwa kuda itu bukan kuda biasa tapi merupakan kuda pilihan.[5]
Hal lain yang juga dicintai oleh manusia adalah binatang ternak ( (الانعام. Binatang ternak ini berupa sapi, kambing, domba, dan unta baik jantan maupun betina. Kemudia ada harts (حرث) yaitu sawah ladang. Kata lebih menunjuk kepada upaya membajak tanah, yang selanjunya diolah dan ditanami benih. Kemudian dapat menjadi sawah dan ladang.
Adapun yang memperindah itu semua adalah Allah SWT. Karena manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi dan mendapat tugas memakmurkan bumi maka dengan tujuan itulah Allah menganugerahkan naluri kepada manusia untuk mencintai hal-hal di atas serta memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya. Naluri inilah yang dijadikan pendorong utama bagi segala aktivitas manusia.
Pada akhir ayat ini disebutkan bahwa itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah sebaik-baik tempat kembali. Perlu diingat bahwa ketika al-Qur’an menyebutkan kecintaan kepada syahwat-syahwat itu adalah untuk mendorong aktivitas kerja dan untuk memperoleh apa-apa yang ada di sisi Allah, maka pada dasarnya semua itu baik. Dan memang di sisi Allah lah tempat kembali yang paling baik.[6]
Namun jika semua kesenangan itu didasarkan pada bisikan syetan, maka ia akan dijadikan tujuan hidup di dunia saja, bukan untuk akhirat. Cara memperolehnya dan cara menggunakannya pun akan sesuai dengan apa yang dianggapnya baik, padahal itu adalah bisikan dari setan.

2.    Harta dalam Hadits Rasulullah SAW.
Banyak riwayat yang menyinggung tentang harta dengan kemuliaannya, atau harta dengan hal buruk yang ada padanya. Namun semua itu tidak lain hanya supaya setiap umat Nabi Muhammad dapat mempelajarinya dengan baik dan mengiplementasikannya dalam kehidupan sekarang ini.
Terdapat salah satu hadits yang disanadkan dari Ka’ab bin Iyadhz bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتْنَةُ اُمَّتِيْ المَالُ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai fitnah (ujian), dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. At Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahihul jami’ no. 2148) [7]
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, bahkan zaman Nabi-nabi sebelumnya harta sudah menjadi hal yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Tidak ada orang yang dapat hidup tanpa memiliki harta. Harta di sini bukan saja diartikan sebagai materi atau uang, tapi anak, istri, keluarga juga merupakan harta.
Adanya harta yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia adalah sebagai ujian, sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas. Kemudian apakah yang diberi harta itu akan mempergunakannya dengan baik ataukah tidak. Jika dipergunakan dengan baik maka harta itu akan bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Namun jika malah digunakan untuk hal yang tida berguna, hal yang tidak disyari’atkan, apalagi yang haram, justru harta tersebut akan membawa keburukan bagi dirinya.[8]

3.      Harta Menurut Surat Al-Anfal ayat 28
وَ اعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ أَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌعَظِيْمٌ 
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” {Al-Anfaal (7) : 28}

Penafsiran bedasarkan Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir  ibnu katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah lanjutan penafsiran dari ayat sebelumnya yang menerangkan tentang khianat kepada Allah dan rasul serta khianat kepada amanah. Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Abu Lubabah bin Mundzir yang sadar telah berkhianat kepada Allah dan Rasul, maka dya bersumpah untuk tidak makan sampai ia meninggal karena kelaparan atau Allah menerima taubatnya. Lalu Lubabah mengikatkan dirinya pada tiang mesjid di madinah, lalu dia berdiam diri selama sembilan hari, sehingga dya pingsan karena tertatih-tatih kelaparan. Allah menurunkan ayat atas penerimaan taubatnya sehingga masyarakyat berbondong-bondong datang kepadanya memberikan kabar gembira atas penerimaan taubatnya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Yang benar ayat ini bersifat umum, meskipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena sebab khusus, namun yang terambil adalah keumuman lafadzh, bukan kekhususan sebab, menurut jumhurul ulama. Khianat itu mencakup dosa kecil dan dosa besar, yang berdampak pada diri seseorang, ataupun yang dampaknya terhdap  orang lain.”[9]
Ayat ini bermaksud untuk mengingatkan bahwa Allah memberikan harta dan anak kepada kita merupakan bagian dari ujian dan cobaan yang telah allah berkan kepada kita sebagai mahluknya. Allah ingin menguji kita dengan melihat apakah kita mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada kita (anak dan harta), mempergunakannya (harta) mendidiknya(anak) dengan benar berdasarkan perintahnya. Jika kita menjadikan anak dan harta kita sebagai kesibukan dan penghalang yang menyebabkan kita jauh darinya dan menjadikan penggantinya maka kita termasuk orang yang gagal terhadap ujiannya.
Pahala yang besar disini yang dimaksudkan adalah surga, surga akan kita dapatkan apabila kita menjalani ujian yang diberikan oleh Allah dengan baik. Surga-surganya lebih baik daripada harta karena kebanyakan dari harta dan anak akan menjadi musuh tidak memberi apa-apa kepadamu sedangkan Allah adalah dzat yang mengatur yang memiliki dunia dan akhirat. Dia memiliki pahala yang besar dihari kiamat.[10] Bahkan cinta kita kepada Rasul harus lebih didahulukan daripada cinta kita terhadap anak dan harta kita pernyataan ini sesuai dengan hadits nabi yang berbunyi “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganya, tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, keluarganya, hartanya, dan manusia seluruhnya.(HR Al-Bukhori)”.

Penafsiran bedasarkan Tafsir Jalalain
Dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang anak dan harta sebagai uian dari allah merupakan penghambat. Penghambat disini adalah sesuatu yang menghambat kita dalam perkara-kara akhirat seperti ibadah. Ayat ini memperingati kita untuk tidak berbuat khianat demi mereka hingga kita merelakan pahala yang besar lewat begitu saja. Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan tobatnya Abu Lubabah.[11]

4.      Harta dalam Hadits Rasulullah
Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: jika ada seseorang diantara kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan fisik, maka hendaklah dia melihat orang yang lebih rendah darinya daripada melihat orang-orang yang diberi kelebihan (harta).”[12](HR. Muslim)
Rasulullah tidak melarang ummatnya untuk menjadi orang kaya dan Rasulullah pun tidak melarang ummatnya untuk menjadi orang miskin. Rasulullah hanya mengatur bagaimana seharusnya sikap orang-orang kaya agar tidak  menjadikannya sebagai manusia yang suka akan nikmatnya duniawi dan lupa pada urusan ukhrawi. Tidak hanya orang kaya yang diatur sikapnya oleh Allah dan Rasulullah dalam Al-Quran dan Hadits yang bersangkutan. Tetapi, bagaimana seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta juga diatur oleh Rasulullah.
Hadits ini berbicara bagaimana seharusnya sikap orang yang kurang memiliki harta terhadap orang yang memiliki harta lebih. Rasulullah memerintahkan untuk melihat kepada orang yang lebih rendah(harta atau fisik) dari pada mereka. Perintah ini bertujuan agar kita selalu mensyukuri nikmat apa saja yang telah Allah berikan kepada kita walaupun itu hanya sesuap nasi dan seteguk air. Jika, kita melihat kepada orang yang lebih rendah daripada kita contohnya yang belum makan selama tiga hari insyallah kita akan selalu mensyukurinya. Tapi, jka kita melihat kepada yang lebih tinggi hartanya insyallah kita akan menjadi kufur nimat dan akan di azab oleh Allah SWT.

5.    Pendekatan Harta dalam Ekonomi Islam
Islam merupakan agama yang sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an yang diturunkan terakhir kali pada saat haji wada yaitu surat al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-ucapkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Karena itu Islam mengatur seluruh rangkaian kehidupan dari semua aspek. Dimulai dari aspek yang paling utama yaitu agama, kemudian sosial, politik, dan juga ekonomi.
Dalam firman Allah SWT tersebut dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.[13]
Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber dayanya di alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. [14] Dan harta termasuk ke dalam salah satu sumber daya itu.

Asas Kepemilikan Harta
Dalam ekonomi islam terdapat empat asas kepemilikan harta antara lain, asas amanah, asas infiradiyah, asas  ijtima’iyah, dan manfaat. Berikut ini penjelasan dari keempat asas tersebut[15] :
a)         Asas amanah
Dalam asas ini disebutkan bahwa kepemilikan harta bukan mutlak milik manusia, kepemilikan harta secara mutlak adalah milik Allah. Sedangkan harta yang dimiliki manusia hanya berupa titipan dari allah yang sewaktu-watu dapat diambil oleh allah. Harta yang dimiliki manusia bersifat nisbih. Maka dari itu Dalam memanfaatkan harta haruslah menurut pada syariat allah. Allah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dinafkahkan. Manusia memiliki hak untuk mengeksploitasi harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan sesamanya. Allah juga menuntut kepada manusia agar tidak boros dan kikir dalam memanfaatkan hartanya. Cara dalam memperoleh harta harus menurut syariat yaitu dengan cara yang halal dan berkualitas
b)         Asas infiradiyah
Kepemilikan harta oleh individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat/barang atau manfaat (jasa) tertentu, ketetapan hukum tersebut memungkinkan siapa saja yang untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut bilamana barang tersebut diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli. Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.
Menurut an-Nabhani ada beberapa sebab-sebab kepemilikan harta berdasarkan hukum-hukum syara antara lain :
1.         Bekerja
2.         Warisan
3.         Kebutuhan hidup
4.         Harta pemberian
5.         Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta dan tenaga apapun
Pada dasarnya kepemilikan harta bersifat individual dan dapat disatukan dalam bentuk badan usaha seperti koperasi. Allah menghalalkan manusia untuk mencari sebanyak-banyaknya rizki di muka bumi ini. Islam meng-iktiraf kepemilikan harta secara individu. Pada masa yang sama Islam mensyaratkan pemilik harta supaya menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keselamatan harta serta melarang memperoleh harta secara haram.
Pemilikan harta individu yang tidak terkawal dan terarah boleh mendatangkan gangguan terhadap orang lain dan kebajikan umum. Demi kesejahteraan dan keharmonisan hidup masyarakat, Islam telah menentukan cara-cara pemilikan harta.   Asas ini berbeda dengan asas kepemilikan menurut kapitalis konvensional, yang memberikan kepada pemilik modal seluas-luasnya mengembakan kepemilikannya dengan mengabaikan hak-hak sosial.
c)         Asas ijtima’iyah
Menurut hukum Islam dalam hak individu terdapat hak masyarakat.   Hak masyarakat tidak akan menghapus hak individu, selama hak masyarakat itu digunakan untuk kepentingan bersama (umum).  Harta dapat dimiliki baik secara individu maupun secara kelompok, dan memiliki fungsi memnuhi kebutuhan hidup pemilik, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terhadap hak masyarakat. hak masyarakat dalam kepemilikan individu diasarkan pada kepekaan sosial individu. Kepekaan sosial ini terlihat dalam kewajiban individu untuk memenuhi kewajiban ibdah zakat, infak dan sedakah serta kewajiban sosial untuk kesejahteraan umum dalam bentuk pewakafan.
Hak-hak sosial yang terdapat dalam kepemilikan harta individu  menjadi suatu keharusan individu untuk memenuhinya. Pemenuhan hak-hak sosial itu  untuk peningkatan  kesejahteraan hidup masyarakat.
Betapa banyak para aghniyah mengabaikan asas ini, tidak ada sentifitas dan kepekaan sosial untuk membelanjakan kepemilikan harta mereka untuk kesejahteraan hidup masyarakat. Tidak atau kurang adanya kesadaran akan pertambahan nilai dari pemenuhan hak-hak sosial itu. Padahal Islam memberi sinyal bahwa memenuhi satu hak-hak sosial Allah akan menambahkkan tujuh puluh nilai kepemilikan harta.
d)        Asas Manfaat
Dari pendekatan filosis pemanfaatan kepemilikan harta pada asasnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat. Memanfaatkan harta untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi kewajiban primer, sedangkan kepentingan sosial kemasyarakatan menjadi kewajiban sekunder. Tetapai pada keadaan tertentu kewajiban sekunder akan menjadi kewajiban primer.
Asas manfaat dalam kepemilikan harta menempatkan pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga menjadi prioritas, betapa banyak sinyal-sinyal al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang menunjukkan itu. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api neraka. Nafkahilah kerabat-kerabatmu, kaum fakir dan miskin. Sinyal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan harta itu diutamakan untuk menikatkan kesejahteraan keluarga sebagai pondasi utama, jika telah terpenuhi kebutuhan kerabat, baru pemanfaatan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan orang fakir dan orang miskin.

C.      Kesimpulan
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spritual. Dan ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber daya di alam raya ini. Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya. Dan harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta.
Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Harta merupakan suatu kesenangan yang diberikan Allah kepada manusia sebagaimana yang tertera dalam surat Ali Imran ayat 14. Selain itu harta juga merupakan suatu ujian untuk menguji apakah manusia yang diberikan harta itu dapat bersyukur atau malah menjadi kufur. Hal ini tertera dalam hadits Rasulullah SAW di atas dan juga surat Al-Anfal ayat 28. Kemudian dalam hadits berikutnya Rasulullah SAW memerintahkan jika manusia diberi harta hendaknya ia tidak sombong dan terus melihat ke atas, namun yang harus ia lakukan adalah melihat ke bawah, kepada orang-orang yang justru lebih sedikit diberi harta supaya kita dapat mensyukuri harta yang dititipkan Allah tersebut.
Berkaitan dengan harta dalam pendekatan ekonomi Islam, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melarang seorang Muslim memiliki harta. Selain karena harta dapat menjadi salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, harta juga dapat digunakan untuk kemaslahatan ummat dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Lalu Islam mengatur kepemilikan harta yang dibagi dalam empat asas : asas amanah, asas infiradiyah, asas  ijtima’iyah, dan asas manfaat. Keempat asas ini sebagai pedoman bagi setiap muslim yang memiliki harta sehingga ia tidak mengambil hak yang bukan miliknya.

D.      Referensi
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Suyuthi, Jalalludin As- dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2001

[1]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2009, hlm. 25
[3] Ibid., hlm. 26
[4] Ibid., hlm. 27
[5] Ibid., hlm. 28
[6] Ibid., hlm. 29
[7] “ Menghindari dari Fitnah Harta dan Anak”, http://www.asysyariah.com/menghindari-dari-fitnah-harta-dan-anak/  Diakses tanggal 12 September 2014, pukul 12.16
[8] “ Ketahuilah, harta itu ujian”, http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/06/19/19560/ketahuilah-harta-itu-ujian/#sthash.reJKsGMz.dpbs Diakses tanggal 13 September 2014, pukul 08.50 
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i), 2004, hlm. 30
[10] Ibid, hlm. 31
[11] Jalalludin As-Suyuthi dan Jalalludin Muhammad, Tafsir Jalalain, (Bogor: pustaka imam syafi’i), 2001, hlm. 108
[12] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah), 2010, hlm. 803
[13] “Harta dalam perspektif Islam”, www.wardahcheche.blogspot.com/2014/01/harta-dalam-perspektif-islam.html?m=1  Diakses tanggal 09 September 2014 pukul 03.46
[14] Ibid.  
[15] Ibid.




Disusun oleh Neneng Ela Fauziyah 
Ustadzah di Madin Diponegoro Yogyakarta
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar